Perlu kembali ditekankan pada budaya membaca kita, walaupun akhir-akhir ini buku bacaan banyak yang disita. Ketakutan penulis, semakin maraknya ilmu pengetahuan yang tidak sistematis dijumpai di internet, menyebabkan etos individu menjadi pragmatis. Apalagi ditambah dengan banyak konten bacaan pada internet yang tingkat keakuratannya masih diragukan. Banyak konten yang menipu kita di internet. Berbeda dengan buku, yang tentunya secara selektif ISBN buku tersebut diberikan, membuktikan telah ada penilaian kelayakan bacaan tersebut.
Kemudian kritik berikutnya adalah tes masuk sekolah. Saya selalu bingung dengan sistem tes masuk pada sekolah-sekolah unggulan. Di mana menekankan aspek keilmuan semata. Hingga dapat disimpulkan sekolah unggulan hanya menjaring siswa yang pintar semata (diukur dari nilai tes). Padahal hakikat pendidikan sebenarnya mengeluarkan kita dari ketidaktahuan menuju pengetahuan, namun justru siswa yang tidak berhasil lulus tes masuk sekolah unggulan, tidak akan diterima di sekolah unggulan, dan akan masuk ke sekolah yang kualitas dan fasilitasnya memperihatinkan.
Ini mengindikasikan sekolah unggulan hanya untuk siswa-siswa yang cerdas semata. Saya menjadi ragu bahwa siswa tamatan sekolah unggulan dan berprestasi karena sekolahnya adalah sekolah yang berprestasi, bisa saja memang murni siswa tersebut berprestasi semenjak Ia ikut tes masuk. Karena yang menjadi parameter kelulusan adalah kecerdasan menjawab soal tes. Seharusnya justru siswa yang kurang pintar yang dimasukan pada sekolah unggulan sehingga keilmuannya dapat berubah, tidak stagnasi. Bagaimana cara menentukannya, tentu dengan cara mengukur nilai kelulusan minimal saat di bangku sekolah sebelumnya. Jangan cuma nilai kelulusan yang maksimal sebagai parameter meloloskannya di sekolah unggulan, bagaimana nasip siswa dengan nilai minimal, ditambah lagi tidak lulus tes masuk sekolah unggulan.
Oleh karena itu saya sangat mendukung konsep pendidikan sebagai gerakan semesta, namun kita juga harus mampu memperbahrui sistem pendidikan kita sesuai dinamika saat ini. Artinya tidak semata-mata merubah sistem, namun menyempurnakan sistem yang ada.
Ada suatu metode pendidikan dikenal dengan ‘Metode Montessori’ yang menekankan penyesuaian dari lingkungan belajar anak dengan tingkat perkembangannya, dan peran aktivitas fisik dalam menyerap konsep akademis dan keterampilan praktik. Sistem ini juga sangat baik sekali, namun harus dibutuhkan kontrol yang besar dari guru. Sehingga justru tidak membawa anak hanya pada mempertahankan hak dengan insting dan agresif semata.
Sejatinya konsep yang dicanangkan Kemdikbud sangat tepat, di mana sudah saatnya dunia pendidikan membutuhkan perhatian semua pihak, sehingga degradasi moral dan etos siswa dapat diantisipasi. Namun yang dibutuhkan adalah usaha untuk meningkatkan kesadaran kolektif semua pihak. Karena kesadaran kolektif tidak akan muncul hanya dengan himbauan semata, perlu adanya sosialisasi yang matang dan regulasi yang tepat demi menggerak dunia pendidikan menuju generasi emas menyongsong imperium Indonesia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H