Mohon tunggu...
Satria Zulfikar Rasyid
Satria Zulfikar Rasyid Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang mahasiswa juara bertahan di kampus! Bertahan gak wisuda-wisuda.. mau wisuda malah didepak!! pindah lagi ke kampus lain.. Saat ini bekerja di Pers Kampus. Jabatan Pemred Justibelen 2015-2016 Forjust FH-Unram Blog pribadi: https://satriazr.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

HPN 2016, Apakah Acara Makan-makan Saja?

11 Februari 2016   03:48 Diperbarui: 11 Februari 2016   04:06 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: lipsus.kompas.com"][/caption]Membaca coretan tinta kegalauan wartawan senior Bre Redana berjudul Inikah Senjakala Kami..., membuat saya sangat pesimis dengan nasip media cetak (baca: koran) dengan kemajuan teknologi kemunikasi dan informasi yang menyajikan berita yang praktis melalui media online, saya sempat berdiskusi lewat media sosial dengan budayawan NTB, Adam Gottar Parra, berharap di Hari Pers Nasional (HPN) 2016 ini akan menjawab kegalauan mas Bre. Namun sama dengan saya, mas Adam justru beranggapan HPN adalah acara makan-makan saja, tentunya sebatas simbolis tahunan dan belum menjawab problema di level kebangsaan ini.

Pers sebagai pilar ke empat demokrasi tentunya mendorong suatu perubahan pada tubuh bangsa ini sekaligus kontrol sosial masyarakat terkait situasi bangsa kekinian. Saya ingat ketika peristiwa tragedi berdarah Malapetaka Limabelas Januari (Malari), kegembiraan pers tiba-tiba terputus semenjak peristiwa itu, koran-koran yang semula vocal menjadi lembek, yang semula nyaring menjadi bisu, banyak koran yang ditutup pasca tragedi Malari akibat memberitakan rezim Soeharto. Menurut Menteri Penerangan Mashuri, segenap pembredelan itu mengakibatkan 417 jurnalis dan karyawan pers di Jakarta serta 87 orang di daerah kehilangan pekerjaan. Namun diantara koran-koran yang tumbang, terdapat beberapa koran yang bertahan, bahkan tidak hanya bertahan tetapi justru berkembang.

Jakob Oetama pendiri dan pemimpin harian Kompas mengatakan sistem sosial ekonomi era Orde Baru yang menjalankan ekonomi terencana semenjak 1969 yang membawa pada ekonomi pasar bahkan pasar internasional, membawa keuntungan bagi media pers. Ekonomi pasar tidak dapat dipisahkan dengan promosi produk. Promosi produk dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya memasang iklan di surat kabar.

Perubahan di bidang sosial budaya, ekonomi dan politik, pola komunikasi dan transportasi pusat-daerah dan daerah-daerah sangat membantu distribusi surat kabar. Dari situ kemudian Kompas dan koran-koran lain berkembang. Menurut Jakob, surat kabar harus mampu membiayai sendiri usahanya, karena bila hanya menggantungkan diri pada subsidi maka tidak akan independen. Untuk itu surat kabar harus dijual agar orang dapat menghargai pers.

Terbukti, terdapat tiga kelompok besar media yang mampu bertahan pada masa Orde Baru, pertama adalah Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang didirikan oleh PK Oyong dan Jakob Oetama, kedua Sinar Harapan Group (Januari 2016 telah tutup) dan yang ketiga Tempo-Jawa Pos Group. Ini membuktikan dengan independen atau tidak di bawah ketiak Orde Baru maka pers akan maju, tentunya bukan dari subsidi pemerintah.

Itu sedikit sejarah kelam pembredelan pers. Saat HPN 2015 yang di gelar di Kepri menyosong tema “Pers Sehat, Bangsa Kuat” dengan tujuan kembali merangkul perbedaan pasca Pilpres 2014, mungkin lebih tepatnya mendamaikan masyarakat yang terbelah menjadi dua akibat ulah pers!, dimana 2014 kemarin masyarakat pecah menjadi dua kubu simpatisan KMP dan KIH, akibat media-media yang masuk dalam poros politik dan melakukan kampanye secara masif mendukung Kandidat Presiden pilihan.

Ternyata harapan tersebut jauh dari harapan Jakob Oetama pasca tragedi Malari dahulu, yang berupaya agar pers terlepas dari belenggu Orde Baru. Menjadi pertanyaan apakah tema HPN 2015 terealisasikan?, hemat saya belum, media masih pecah diantara kubu yang idealisnya menempel pada pemilik media tersebut, yang notabenenya tergabung dalam atap parpol, aneh ketika tema yang belum terealisasikan namun telah mengusung tema baru, sekarang saya mengerti jawaban Budayawan NTB yang mengklaim HPN adalah hari makan-makan.

Pers saat ini kerap memberitakan suatu berita dan mengklaim itu adalah opini publik, saya rasa sedikit konyol ketika dikatakan adalah opini publik, karena justru masyarakat/publik terbentuk suatu paradigma akibat pemberitaan pers, sehingga seharusnya itu bukan opini publik, tetapi opini media/pers yang telah membentuk opini publik.

Kembali ke HPN 2016 yang mengangkat tema  "Pers yang Merdeka Mendorong Poros Maritim dan Pariwisata Nusantara" di gelar di tepi Pantai Kute Lombok, namun sialnya sekitar 56 km dari pantai Kute berdiri salah satu kampus yang menjadi jantung pendidikan di NTB. Universitas Mataram (Unram), memiliki Media Kampus yang usianya jauh sebelum reformasi. Namun kini eksistensinya telah berakhir akibat independensi. Media Unram telah dibekukan oleh Rektor Unram akibat menolak ketika dipaksa untuk memberitakan kampus yang baik-baik saja, fungsi sebagai alat kontrol masyarakat kampus ingin dirubah menjadi Humas Kampus, sungguh miris ketika semua seakan menutup mata. Dibalik kemegahan HPN 2016 terdapat air mata perjuangan yang sia-sia sekitar 56 km dari bibir pantai Kute. Inikah Demokrasi?.

Saya menuding bahwa ada kepalsuan di alam demokrasi ini, kepalsuan di balik bunyi sendok yang beradu dengan piring saat kemeriahan HPN 2016, Media Unram dibekukan menggambarkan suatu kausalitas (sebab-akibat) ketika Pers Mahasiswa tidak bernaung di belakang parpol, ya tentu tidak akan diadvokasikan!, berbeda dengan (maaf) ketua BEM di salah satu kampus yang di DO oleh rektor, namun dengan sigap salah satu politisi partai mengadvokasikannya.

Sungguh sangat memprihatinkan ketika mengadvokasi suatu masalah dengan jalan pilih kasih dan berkoar atas nama demokrasi, namun disisi lain membiarkan matinya kelompok atau individu lainnya, sedangkan media hanya fokus pemberitaanya pada hal yang berkaitan dengan advokasi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan. Semoga dapat menyentuh semua pihak bahwa HPN bukan seremonial tahunan, namun dibutuhkan sikap responsif mengadvokasi mereka yang terjebak dalam ruang-ruang tiran yang tersisa di alam demokrasi. Selamat Hari Pers Nasional 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun