[caption caption="Ilustrasi: www.shutterstock.com"][/caption]
Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) ciptakan maraknya Pengamat Amatir pada Media Sosial. Pengamat Amatir yang muncul pada setiap postingan di media sosial bersifat masif, setiap pemberitaan tidak luput dari pengamatan masyarakat pengguna internet (Nitizen) yang berlomba-lomba untuk memberikan suara dan hipotesanya dalam setiap berita.
Ini merupakan suatu realitas bahwa masyarakat Indonesia semakin cerdas saat hadirnya TIK yang menyajikan setiap informasi yang berkembang, sehingga masyarakat akan semakin akrab dengan perkembangan peristiwa pada tingkat internasional, nasional maupun regional. Penyerapan informasi dengan cepat ini membantu masyarakat untuk tidak ketinggalan dalam menerima informasi yang terbaru.
Namun ditengah mudahnya mengakses informasi, terkadang memicu perselisihan di tengah masyarakat yang berujung pada masalah hukum, sebut saja yang pernah menghebohkan Indonesia, kasus Prita Mulyasari yang berseteru dengan RS Omni International hingga yang terbaru adalah kasus Antho yang memberikan komentar kasar di Instagram soal Deddy Corbuzier dan Chika Jessica. Masyarakat seakan tidak peduli terhadap ancaman undang-undang Informasi dan Transaksi Eletronik.
Masyarakat yang menjadi pengamat amatir di media sosial seakan mengalami degradasi sopan santun, perdebatan terkait suatu topik  relatifnya akan berujung pada hujatan, faktor yang berjauhan dan tidak bertemu secara langsung dalam berdiskusi ciptakan sikap masyarakat relatif kasar dengan lawan diskusinya, apalagi jika yang menjadi tema diskusi berujung perdebatan.
Kasus-kasus penghinaan (pencemaran nama baik) lewat media sosial yang berujung pada masalah hukum nampaknya tidak membuat jera masyarakat yang hobby saling hujat, dan relatifnya pelaku kebanyakan berusia remaja, fenomena ini sungguh memprihatinkan, di sela kampanye internet sehat oleh pemerintah, namun justru internet sehat hanya dikategorikan tidak menonton, mengunggah atau mendownload video maupun foto berlatar pornografi, bukan untuk tidak saling menghujat ketika berdebat.
Salah satu fenomena yang saat ini paling sering ditemukan adalah perdebatan simpatisan Presiden Joko Widodo dan simpatisan Prabowo Subianto, walaupun pilpres telah lama selesai namun hingga kini masih saja ada perdebatan antara simpatisan. Faktornya dipicu dari perdebatan panjang pra dan pasca pilpres kemarin, hal ini membuat masyarakat terbelah menjadi dua kubu dan terjadi adu argumen antara dua kubu, seakan-akan ketika yang dikritik adalah figur yang diidolakan sama saja mengkritisi dirinya, apalagi menghujat.
Dari hasil pengamatan saya selama menemukan perdebatan di media sosial, jarang sekali saya temukan ada yang berdebat secara bijak, artinya menyimak dan sungguh-sungguh menghayati substansi yang dilontarkan lawan debat, mereka justru mempersiapkan peluru untuk menangkis argumen lawan dibanding untuk menyimak dan merenungi substansi argumen lawan, masih ada yang beranggapan bahwa kekalahan dalam debat adalah hal yang memalukan dibanding memetik ilmu dari perdebatan tersebut.
[caption caption="perdebatan di media sosial facebook (dok.pribadi)"]
Perdebatan yang paling aktif dan masif saya temukan pada jejaring sosial facebook, dalam group maupun fanpage, banyak sekali anggota group atau halaman tersebut berdebat yang tidak substantif, apalagi ketika group atau fanpage tersebut bukan resmi milik perusahaan atau yang ada izinnya, namun juga tidak menutup kemungkinan hujatan-hujatan tersebut sering muncul pada fanpage berita online yang justru resmi, ditandai dengan verifikasi biru pada fanpage tersebut, seakan-akan ini merupakan suatu pembiaran agar suasana group menjadi rame, padahal dalam fitur group maupun fanpage terdapat pengaturan saringan kata kotor yang disediakan facebook untuk mengantisipasi hujatan, namun sangat jarang sekali diaktifkan untuk menjaga kenyaman anggota lainnya, entah apa yang melandasi hal tersebut sungguh sangat disayangkan.
[caption caption="fitur saringan kata kotor di facebook (dok.pribadi)"]