Mohon tunggu...
Satria Zulfikar Rasyid
Satria Zulfikar Rasyid Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang mahasiswa juara bertahan di kampus! Bertahan gak wisuda-wisuda.. mau wisuda malah didepak!! pindah lagi ke kampus lain.. Saat ini bekerja di Pers Kampus. Jabatan Pemred Justibelen 2015-2016 Forjust FH-Unram Blog pribadi: https://satriazr.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tahlilan di Bawah Jalan Layang Semanggi

4 Februari 2016   01:56 Diperbarui: 4 Februari 2016   02:13 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: www.dahsyat.net (Jembatan Ancol)"][/caption]

Tenggelamnya lembayung sore di langit Jakarta membuat sedikit cemas perasaanku, pasalnya aku belum tahu persis daerah disini, aku hanyalah pendatang baru yang mencoba mengadu nasip di Ibu kota, walaupun ada anekdot yang mengatakan sekejam-kejam ibu tiri lebih kejam ibu kota, namun kondisi perekonomian memaksaku untuk kesini.

Hitungan kedipan mata, malam mulai selimuti langit, hawa dinginnya menusuk tulang, di atas jembatan Semanggi aku hanya menatap kendaraan yang mulai berkurang melintas, rintik-rintik hujan buktikan mujarapnya prediksi BMKG tentang perubahan pola cuaca akibat dampak El-Nino.

Dengan mengenakan jaket kulit ala rantauan dan tas berisi 4 potong baju dan 1 potong celana, aku bersandar di pembatas jembatan, menatap gemerlap kota dari kejauhan, suasana yang sepi membuat bulu kudukku berdiri, aku teringat legenda urban tentang keangkeran jembatan layang Semanggi, apalagi beberapa bulan yang lalu aku pernah menonton film horror berjudul Hantu Binal Jembatan Semanggi, pikiranku mulai kacau, aku tak tahu harus kemana lagi.

Lolongan anjing dari bawah fly over membuat lengkap mistisnya kota malam ini, seeokor anjing di bawah jembatan terus melolong kearahku, suara lolongan yang panjang seakan membuat lebur hatiku, apalagi aku hanyalah orang desa yang selalu akrab dengan cerita mistis, bukan seorang empiris yang tidak meyakini eksistensi mahluk gaib.

Rintik-rintik hujan malam, mulai sepinya kendaraan yang melintas dan lolongan anjing menjadi suatu petanda keyakinanku bahwa memang benar jembatan Semanggi menyimpan misteri, apalagi pasca tragedi berdarah Semanggi tahun 1998, semenjak transisi orde baru ke orde reformasi, konon korban tragedi Semanggi terlihat bergentayangan pada jembatan tempat aku bersandar ini.

Dari kejauhan ku melihat bayangan seseorang datang ke arahku, bayangan itu terus bergerak mendekatiku, hingga bunyi langkah kakinya bergentayangan pada telingaku, aku ingin berlari, namun seakan kakiku berat untuk beranjak pergi, seakan tubuhku berat untuk bangun berdiri, sementara lolongan anjing di bawah jembatan semakin kuat terdengar, firasatku semakin tidak enak, aku tentu tidak ingin menjadi korban keganasan arwah penunggu jembatan Semanggi.

Perlahan langkah kaki itu semakin mendekat, mendekat dan terus mendekatiku, terhitung 4 kali tarikan nafas yang terburu-buru akhirnya langkah kaki itu berdiri tepat di sampingku, tidak berani kuangkatkan kepala, wajahku ku tundukan kearah aspal jalan.

“Asalamualaikum mas..” Suara salam menyapaku.

Mendengar suara salam itu, hatiku sedikit kembali tenang, perlahan ku angkatkan kepalaku, menatap sumber suara itu, namun ternyata tiba-tiba di depanku seorang pemuda dengan kaos oblong, dengan celana jeans yang robet menyapaku. Pria bertampang preman dengan anting di telinga kiri dan dengan senyum memberikan salam padaku.

“Waalaikumsalam..” Jawabku.

Perasaanku justru kembali cemas, bukan takut lantaran sosok hantu, melainkan pria bertampang preman di depanku, aku cemas sekaligus heran, apakah dia ingin merampokku?, tapi mengapa dia ingin merampok orang seperti aku dengan penampilan desa yang miskin ini.

“Ada apa bang?” tanyaku.

Jawaban darinya membuat ketakutanku hilang, tidak ada beban kecemasan sama sekali setelah mengetahui tujuannya menghampiri aku.

“Mau ngundang tahlilan, Bang!” jawabnya.

Akhirnya diapun memberitahukan aku bahwa seminggu yang lalu adiknya ditabrak oleh sebuah mobil, hingga tewas di tempat. Si penabrak bertanggungjawab dan memberi ganti rugi (uang damai). Karena kakak-beradik itu tunawisma, tinggal di bawah jalan layang, ia pun mengadakan acara tahlilan di situ.

Di samping tiang beton jalan layang, diterangi beberapa batang lilin, kami bertujuh mendoakan almarhum dalam suasana sahdu. Sebuah tumpukan nasi kotak menambah haru suasana berkabung.

 

*Catatan:

Cerita ini adalah status facebook Adam Gottar Parra tanggal 8 juli 2015 yang dirangkaikan menjadi cerpen oleh penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun