Perasaanku justru kembali cemas, bukan takut lantaran sosok hantu, melainkan pria bertampang preman di depanku, aku cemas sekaligus heran, apakah dia ingin merampokku?, tapi mengapa dia ingin merampok orang seperti aku dengan penampilan desa yang miskin ini.
“Ada apa bang?” tanyaku.
Jawaban darinya membuat ketakutanku hilang, tidak ada beban kecemasan sama sekali setelah mengetahui tujuannya menghampiri aku.
“Mau ngundang tahlilan, Bang!” jawabnya.
Akhirnya diapun memberitahukan aku bahwa seminggu yang lalu adiknya ditabrak oleh sebuah mobil, hingga tewas di tempat. Si penabrak bertanggungjawab dan memberi ganti rugi (uang damai). Karena kakak-beradik itu tunawisma, tinggal di bawah jalan layang, ia pun mengadakan acara tahlilan di situ.
Di samping tiang beton jalan layang, diterangi beberapa batang lilin, kami bertujuh mendoakan almarhum dalam suasana sahdu. Sebuah tumpukan nasi kotak menambah haru suasana berkabung.
*Catatan:
Cerita ini adalah status facebook Adam Gottar Parra tanggal 8 juli 2015 yang dirangkaikan menjadi cerpen oleh penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H