Tersebutlah tanah,
Pematang hijau yang mengalir di antaranya sungai kecil dan jernih. Umbi bawang putih yang gemuk, berjejer rapat, bersenggol-senggolan. Dada pun membuncah. Sebentar lagi panen.
Tersebutlah pematang,
Sepetak yang diwariskan oleh para moyang. Tempat rupa-rupa sesaji kami tancapkan pada musim tanam yang suci.
Tersebutlah sebuah bank perkreditan,
Tawaran program piutang berazaskan tipu muslihat. Program pengembangan pertanian berselimutkan bulu musang.
Ada petugas-petugas berseragam dan berdasi. Ada perantara-perantara bermulut semanis tebu. Ada petani-petani lugu. Ada penagih-penagih bersenjatakan ancaman, "TANAH SAUDARA KAMI SITA!!!"
Mungkin saat itu hanya satu adagium ini yang ada di benak para preman berseragam: Kirim bodyguard sangar
untuk menakut-nakuti orang pintar, tetapi kirim orang-orang pintar untuk menakut-nakuti orang kampung.
Lalu tercabutlah parang,
"HEI, PENIPU! SINI TAK BACOK NDHASMU!", teriak si anak kedua. Mata paling merah, sewarna darah. Baginya tak ada diskusi dan argumentasi. Hanya satu di benaknya, "Sadumuk bathuk sanyari bumi...ditohi pati"
Dan hari itu orang-orang pintar nyaris kena batunya.
Dan setelah itu, beberapa orang pintar benar-benar kena batunya.
Tersebutlah anak sulung, pulang dari rantau, tak pintar, tak pula sangar. Ia hanya ingat beberapa pesan kakeknya. Dulu sekali. Sebelum ia keluar kandang.
Maka dirapalnyalah mantra Sridewi, tautan cinta pada bumi pertiwi. Digambarnya pula Kalacakra, rajah di atas tanah.
Lalu dia tampar orang-orang itu satu persatu. Dengan senyuman, gelar perkara, juga gelar perang. Persis seperti Mpu Mada menampar Rawedeng, lalu menjewer Rayuyu. Kala itu. Ketika keduanya menertawakan Amukti Palapa sang Mpu.
Â
Tak lama, tersiarlah kabar,
Sebuah bank gulung tikar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H