Terbaring bertopang ratusan panah yang menembus tubuh rentanya, kakek tua itu tetap tersenyum, meskipun bisa dibayangkan, sakit karenanya pasti tak tertanggungkan.
Tak seperti lazimnya adegan perang, ketika seorang tokoh langsung tewas begitu anak panah menghujam tepat di jantungnya, si kakek tua tak juga kehilangan nyawa meski nyaris seluruh bagian tubuhnya terluka, tertembus panah-panah sakti milik Arjuna, cucunya.
Yah, dialah Bhisma, bernama kecil Dewabrata, satu-satunya tokoh dalam Mahabharata yang dianugerahi kemampuan untuk menentukan ajalnya sendiri, kapan dan dengan cara apa dia akan meninggal. Oleh karenanya, meskipun ratusan panah mengoyak tubuh tua itu, agaknya ia belum ingin meninggalkan dunia. Agaknya ia memilih menahan sakit sambil menunggu apa yang diharapkannya tiba: kemenangan Pandawa, kemenangan dharma, lenyapnya angkara dari bumi Hastinapura, tanah air yang dicintainya.
Apa gerangan yang membuat Bhisma begitu mulia sehingga para dewa pun menganugerahi kelebihan seperti itu?semakin mencoba mencari tahu, semakin bertambah kekaguman kepada tokoh satu ini.
Dari sekian banyak kelebihan, baik dalam keperwiraannya maupun kebajikannya, satu yang paling menonjol: rela mengalah.
Ia mengalah, benar-benar mengalah, meskipun memiliki kemampuan untuk menang. Ia (seringkali) mengalah, meskipun berkesempatan jadi pemenang.
Ingatlah ia ketika bersumpah untuk tak melirik tahta ayahnya, meskipun ia seorang putra mahkota yang berhak menjadi raja selanjutnya. Prabu Sentanu, ayahnya, yang sangat ingin mempersunting Satyawati, sekian lama bermuram durja. Bimbang. Haruskah memenuhi permintaan gadis pujaannya untuk menjadikan keturunan Satyawati sebagai pewaris taha Hastina ?Bukankah itu berarti ia berbuat aniaya kepada putra mahkotanya Dewabrata? Di tengah kegalauan hati ayahandanya, dan demi melihat sang ayah kembali bersuka cita, Dewabrata tampil ke muka.
Ia datangi Satyawati dan ayahnya, ia berjanji pada mereka, bahwa ia tak akan menuntut tahta dan memastikan adik-adik iparnya lah yang akan memegang tampuk kerajaan Hastina. Satu keteguhan anak yang menjadi obat bagi kegalauan hati sang ayah. Mirip kisah Ismail ketika datang perintah yang menyuruh ayahnya menyembelihnya. Ayah yang ragu itu dikuatkan hatinya dengan perkataan sang anak," Wahai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, niscaya engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."
Kembali ke Dewabrata, ternyata belum cukup sampai di situ. Satyawati percaya dengan janji itu, tapi bagaimana dengan anak keturunan Dewabrata?pastilah mereka akan menuntut haknya. Lagi-lagi Dewabrata bersikap. Ia bersumpah akan wadat, tak akan mendekati wanita, sehingga tak akan ada keturunannya yang menuntut tahta Hastina di kemudian hari. Sumpah yang menggetarkan kahyangan dan membuat dewa-dewa menjulukinya dengan nama Bhisma, yang artinya, "Dia yang sumpahnya dahsyat."
Ingat pula ketika Bhisma menjadi panglima perang Kurawa dalam kisah Bharatayuda. Keterampilannya dalam strategi perang dan memainkan senjata, terutama panah, tak terkalahkan. Bahkan jika dikaitkan dengan anugerah mampu menentukan ajalnya sendiri, harusnya tak ada satupun yang bisa menghentikan Bhisma. Hampir sepuluh hari perang berlangsung, tak ada yang bisa menghentikan Bhisma. Pandawa frustasi. Kalau tak segera menemukan kelemahan sang Kakek, pasukan Pandawa bisa habis. Maka atas nasihat Krishna, didatangilah sang Kakek di tendanya pada suatu malam. Pandawa pasrah, tak menemukan cara mengalahkan sang Kakek. Mereka memohon kakeknyalah yang memberitahukan sendiri kelemahannya, bertanya dengan jalan apa cucunya bisa mengalahkannya.
Dan apa jawaban Bhisma? Lagi-lagi dia mengalah. Dengan rela ia beritahukan kelemahannya ke pihak lawan, karena ia tahu persis bahwa para Pandawa berada di pihak yang benar, sedangkan ia membela kubu yang salah. Hanya karena sumpah untuk melindungi tanah airnya lah ia tetap bertahan sebagai panglima perang Kurawa.
Maka sang kakek pun menjawab," ... ketahuilah pantanganku ini, bahwa aku tidak akan menyerang seseorang yang telah membuang senjata, juga yang terjatuh dari keretanya. Aku juga tidak akan menyerang mereka yang senjatanya terlepas dari tangan, tidak akan menyerang orang yang bendera lambang kebesarannya hancur, orang yang melarikan diri, orang dalam keadaan ketakutan, orang yang takluk dan mengatakan bahwa ia menyerah, dan aku pun tidak akan menyerang seorang wanita, juga seseorang yang namanya seperti wanita, orang yang lemah dan tak mampu menjaga diri, orang yang hanya memiliki seorang anak lelaki, atau pun orang yang sedang mabuk. Dengan itu semua aku enggan bertarung..."
Dan akhir cerita menjadi mudah. Bhisma gugur ketika Pandawa menyiasatinya dengan memasang Srikandi, seorang wadam, sebagai kusir Arjuna. Bhisma yang tak mungkin menyerang Srikandi dan Arjuna, hanya bisa menerima hujaman ratusan panah dari Arjuna. Menerima dengan pasrah, hingga tubuh tuanya roboh.
Sebelum ambruk ke tanah, dimintanya Arjuna untuk menambah jumlah panah yang menembus tubuhnya hingga ia bisa berbaring di atas ranjang panah itu, sambil menunggu perang usai, sambil berdoa, bahwa dharma yang akan menang dalam perang saudara itu.
Ah Kakek....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H