“Selamat Pagi”, ucap seorang Ibu paruh baya berpakaian batik, mencengangkan sesaat setibanya kami di stasiun Mikage Hankyu, sebuah stasiun kecil di Kobe, pada pagi hari yang cerah di musim panas.Kami tertegun, kemudian tersenyum dan membalas salam tersebut mengiringi sang Ibu yang berlalu dengan sangat cepat, menghilang dalam sekejap mata.
Kami mengenakan pakaian sipil lengkap dengan sebuah kartu ID tempat saya bekerja menempel di saku kiri, cukup mudah mengenali bahwa kami juga akan menghadiri upacara bendera di Wisma Indonesia.
[caption id="attachment_208546" align="aligncenter" width="512" caption="Upacara Bendera Memperingati HUT ke-67 Republik Indonesia (sumber: KJRI Osaka)"][/caption]
Hari ini tanggal 17 Agustus 2012, merupakan perayaan kemerdekaan ke-67 Republik Indonesia. Saat akan menghadiri upacara kali ini sungguh terasa berat, tak hanya karena ia jatuh pada musim panas, tetapi lebih karena ini adalah bulan Ramadhan.
Gedung KJRI di Midosuji Boulevard Osaka merupakan gedung Bank Resona, 6 lantai yang disewa, sehingga kegiatan upacara bendera dilaksanakan tetap di Wisma Indonesia, yang telah dibeli oleh pemerintah Republik Indonesia pada 1962 di kawasan Mikage Kobe, 37 menit berkereta dari Stasiun Umeda Osaka menggunakan hankyu local line.
Kami berangkat pukul 6 pagi dari Osaka, walaupun upacara bendera dimulai pukul 8.30 JST. Karena ini adalah kali pertama kami berkunjung ke Wisma Indonesia, adik telah mencetak sebuah peta dari google maps. Sayangnya, suasana landscape yang berbeda membuat saya sedikit bingung, bahkan lokasi kami berdiri pun tak tertuang GPS. Kami memutuskan untuk bertanya alamat kepada petugas stasiun, tetapi Ia pun tak mengetahui letaknya dengan tepat.
Keluar stasiun, kami menemui nenek tua yang sedang membersihkan altar di depan rumah. Wajahnya yang cukup serius bekerja, sebenarnya membuat kami enggan mengganggu untuk bertanya. Wajahnya serta merta berubah menjadi senyum ramah menjelaskan arah kemana kami harus pergi. Ia pun tak sungkan untuk beranjak keluar dari halaman dan mengajak kami berjalan ke perempatan.
“Naik bus dari bus stop di depan ya nak” ucapnya, sambil menunjukkan sebuah bus stop yang sudah penuh dengan antrian.
Menurut google maps kami dapat berjalan kaki cukup dekat, hanya 15 menit, jadi kami enggan naik bus sebenarnya. Bagi kami 200 yen lebih baik digunakan untuk membeli kakigori, atau es gosrok (serut).
Akan tetapi, menghormati arahan sang nenek, kami pun ikut mengantri menunggu kedatangan bus. Untuk lebih meyakinkan, kami pun bertanya kepada seorang gadis yang berdiri tepat di depan kami.
“Wah, ini jalannya ada di daerah atas!” serunya.
Kami pun tersentak, “He?!! Atas?!!".”
Akhirnya kami yakin menggunakan bus, cukup hanya karena kata-kata “ini kan di daerah atas”.
Dan ternyata, jalannya memang tak seperti di Osaka yang landai dan rata. Ia sangat menanjak dan berliku, tepat menggambarkan kalau berada di atas. Untungnya kami tak jadikeukeuh berjalan kaki tadi. Kami pun turun di sanchome beserta seorang Bapak yang juga berpakaian sipil lengkap. Beliau langsung bergegas menuju utara, mendaki jalan yang masih panjang, sementara kami tertegun di tanjakan yang lengang. Benar-benar tak adaclue kemanakah arah Wisma Indonesia, atau orang yang dapat kami tanyai. Ini adalah kawasan permukiman yang benar-benar lengang.
[caption id="attachment_209209" align="aligncenter" width="700" caption="Jalanan Menanjak Menuju Wisma Indonesia, Mikage, Kobe"]
Sang Bapak berlari sambil mengusap peluhnya menghampiri kami, “Mau ikut upacara juga ya?”
Ah ternyata kami bertiga tersesat bersama-sama.
Saya masih berusaha mencari signal GPS ketika sang Bapak menelpon pihak Konjen.
“We want to celebrate your Independence Day”, ujarnya fasih menggunakan Bahasa Inggris beraksen Jepang yang kental. Ternyata kami harus menuruni bukit sampai pertigaan, kemudian mendaki kembali di simpang yang lain, sekitar 5 menit.
Mendaki jalan berkemiringan 45 sampai 60 derajad menggunakan sepatu hak 8 senti, di musim panas bulan puasa dengan baju sipil lengkap dan melaju dengan kecepatan jalan orang Osaka yang hampir 15 km/jam!
Setelah memacu jantung, kami pun mendapati untaian bendera merah putih di sebuah pagar dengan lambang burung garuda.
“Ah, sudah sampai!”, sang Bapak menoleh dan tertawa mengetahui saya mulai tertinggal 2 langkah di belakang, hampir menyerah. Nampak nyata, endurance tak berkorelasi positif dengan usia. Semakin terbukti dengan hilangnya seseorang yang lebih muda, saya tak dapat menemukan adik saya, selain sebuah bintik hitam putih di kejauhan.
Udara sangat panas dan petugas upacara pun berpeluh bak lepas mandi di pancuran, tak mengurangi kekhidmatan jalannya upacara. Upacara berjalan lancar dengan amanat Konjen RI Osaka mengenai hasil pembangunan yang dicapai oleh pemerintah Indonesia, ditengah stagnasi dan resesi di negara lain, Indonesia menjadi emerging economy dan kekuatan ekonomi ke-16 di dunia. Konjen RI juga menyampaikan pesan terkait dengan Jepang sebagai partner utama Indonesia, serta pesan kepada masyarakat Indonesia sebagai bagian dari duta bangsa di wilayah Jepang Barat.
Usai upacara, kami berencana untuk berjalan kaki menuju bus stop. Baru beberapa langkah menuruni bukit, adik saya sudah pasang posisi jongkok di dekat trotoar seperti trenggiling, minta ditendang saja agar terguling sampai dasar bukit.
Karena tak tega, akhirnya kami pun mencapai stasiun Mikage Hankyu menggunakan taksi. Jaraknya cukup dekat, cukup membayar 660 yen saja dengan uang celengan saya yang masih 700 yen. Di Jepang, kita tak perlu memberi tips, meskipun hanya membayar dengan uang receh, tetap ada kembalian. Walau duduk di Toyota Crown ber-AC, peluh di dahi adik saya sudah sebesar jagung australia, ia memutuskan untuk membeli pocari di Family Mart di depan stasiun, toh ia memang tidak puasa.
Melihat lambang garuda yang tertempel di tas merah, oleh-oleh dari KJRI, kasir menyapa kami dengan ramah, “Selamat Pagi!”.
Senang rasanya, banyak yang dapat mengucapkan salam menggunakan Bahasa Indonesia. Mengingatkan saya beberapa waktu yang lalu di Kinkakuji Kyoto dan Brussels ketika para penjual oleh-oleh, suvenir, dan coklat, juga dapat mengucapkan salam dan terima kasih dalam Bahasa Indonesia.
Awalnya, mumpung sedang di Kobe, inginnya kami berkunjung ke beberapa tempat wisata menarik. Tetapi karena sudah kepanasan dan letih, kami memutuskan langsung pulang ke Osaka. Walau demikian, kami menyempatkan diri untuk melihat jembatan Akashi Kaikyo, --pearl bridge-- jembatan suspensi terpanjang.
[caption id="attachment_209210" align="aligncenter" width="739" caption="Jembatan Akashi Kaikyo dari Stasiun Maiko"]
“Untung tidak jadi jalan kaki ya” ujar adik saya bersyukur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H