Mohon tunggu...
Satinisa Sa
Satinisa Sa Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lebaran di Atas Nampan

24 Juli 2017   15:17 Diperbarui: 24 Juli 2017   15:20 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasi masih tampak banyak; tidak terlalu lembek; aromanya begitu kuat, nikmat sepertinya ada campuran kayu manis di dalam nasi ini. Harum, mungkin juga karena daun pandan, entahlah. Gadis saat ini mulai banyak tak mengerti.

Pagi itu, tetangga sudah sepi. Berangkat ke pemakaman untuk memberikan bunga ke makam nenek moyang. Mengharap puasa sebulan penuh diterima Yang punya Maha dan yang telah tiada menjadi kekal di SurgaNya. Sehabis itu, barulah mereka pergi ke Masjid untuk menuntaskan ibadah sholat Ied. Itulah kebanyakkan yang tetangga lakukan. Sedang bagi keluarga kami, ialah pagi waktu lebaran lebih hitmat jika menghabiskan nasi kuning hangat setampan, bersama sekeluarga terlebih dulu baru ke masjid untuk menyusul.

"Nahkan! Ayamnya hidup!" ujar Bang Hilman ketika melihat Adik kecilku menjatuhkan ayam goreng di atas nasi yang kami santap. Kami tertawa terbahak-bahak. Nampan pun ikut senang.

Abang kami itu, Abang satu-satunya. Abang kami yang disayang Emak. Abang kami yang menginspirasi hingga membawa banyak piala dan medali ke atas almari di ruang tamu kami. Dia ahli menulis dan ahli berpidato. Mungkin keahliannya yang terakhir itu yang membuat banyak orang sibuk membawanya ke sana-ke mari. Mungkin karena itu, keluarga kami tak lagi dipandang sebelah mata.

Kabar terakhir didengar kalau dia sedang berada di Medan, menangani masalah pertambangan. Lalu kami hanya bisa diam tidak bisa menghubunginya, mungkin benar. Zaman semakin canggih, zaman telah mengubah tabiat Abang, serta teknologi membuat alih fungsi telepon menjadi wahana bermain jaringan internet. Tanpa itu, tidak bisa.

Di luar terdengar takbir syahdu dengan alunan kotek'an bambu oleh tangan-tangan kecil. "Abangku, pulanglah besok!" aku, Emak, Adikmu Rindu. Bagaimana kabarmu sekarang?" Aku berharap satu malam penuh cemas sebelum benar kejadian Lebaran.

Bagi kami, tradisi ini yang membuat beda dengan yang lain.  Membuat iri dan tampak sungkan mengganggu kemesraan kami. Hanyalah dulu, bukan seperti tangan dingin saat ini. Angin berdesir, angan mengambang di atas atap. Melambai dan mendayung masa itu. Terakhir memang didengar kabar Medan tempat hidup Abangku. Namun selebihnya, kami menahu suatu informasi yang kami dapatkan dari koran pagi itu. "Itu muka Abangmu Nak? Kenapa bisa muncul di situ?" tanya Mak Imah tak tahan. Aku tercengang tak terpacaya. Semua orang menghinanya, korupsi penyebabnya.

Dulu banyak yang bilang, itulah kurang didikan. Namun apalah artinya dulu, sedang sekarang sebenarnya Abangku itu telah lepas. Lepas dari jeruji besi yang telah mengurungnya. Namun sayang, Abangku tak mengindahkan permintaan Ibu, Entah, padahal rindu.

Waktu terus berjalan, aspal jalanan sepertinya telah capek bercumbu dengan ban-ban yang mengantarkan pada salam-menyalam seluruh umat. Saling memaafkan dan saling bertukar uang. Berisik bisingan itu telah hilang dalam geguritan yang semakin malam. Dia belum datang. Ibu diam. Teh yang tadinya hangat, menjadi dingin. Sepertinya, angin sengaja bermain hanya seperti itu, aku juga gagal membawa tanganku yang dingin. Mendinginkan hati Mak; mendinginkan kenangan; serta membawakan Abangku pulang.

Di atas nampan ini, aku-Ibu-dan Adik kecilku yang mulai tumbuh besar berdo'a sambil menata nasi kuning ke piring masing-masing, "Tidaklah harus dia datang, kumpulan burung pun tak harus selalu pulang ke rumahnya yang sama, kita do'akan, semoga rumahnya menjadi alas tidurnya yang baik." Ucapnya terakhir.

oleh : akhmad mukhlason

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun