Lafran Pane menjelaskan bahwa HMI berdiri untuk mengisi dakwah Islam di lingkungan mahasiswa. Dia berharap nantinya dakwah HMI mampu menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai ajaran agama Islam, terutama di kampus biasa atau umum (di luar STI).[1] Ini adalah mission HMI yang paling awal dari pendirian HMI. [2]
Menurut Lafrane Pane mahasiswa di kampus umum hanya mendapat nilai-nilai pendidikan barat (sekuler), sehingga lebih membutuhkan HMI. Agar tujuan di atas tercapai dia merelakan jabatan Ketua Umum PB HMI kepada Muhammad Syafaat Mintareja[3], mahasiswa hukum UGM (kampus umum). Cara itu terbukti sukses membuat HMI berkembang pesat di kampus umum-yang di kemudian hari tumbuh menjadi kampus ternama di Indonesia.
Pada 1950-1960 HMI sudah kuat di semua kampus ternama[4]. Di kampus-kampus negeri aktivis-aktivis HMI menduduki posisi strategis seperti Ketua Senat, Jurusan, dan Dewan Mahasiswa. Posisi kuat inilah yang menempatkan HMI sebagai motor utama KAMI[5] dalam mengganyang PKI[6]. Di Jakarta, Presidium KAMI Pusat dengan pertimbangan strategi perjuangan memang sengaja dipegang PMKRI[7] dan PMII[8], tapi di tingkat daerah hampir semua pimpinan KAMI adalah kader HMI. Hal ini wajar, karena hampir di semua kampus di luar Jakarta, HMI penguasanya.[9]
Memasuki 1970 HMI memasuki zaman baru. Munculah para pembaharu pemikiran Islam di tubuh organisasi ini. Hebatnya, pembaharuan ini langsung dimotori Ketua Umum PB HMI waktu itu, Nurcholis Madjid.[10] Melalui dia pemikiran Keislaman-Keindonesian awal HMI, yang dianggap Syafii Maarif masih mentah, kemudian berhasil digodog menjadi matang. Dari sini munculah slogan Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemahasiswaan (modern) HMI.[11]
Kejayaan Sudah Tamat
Masuknya alumni-alumni HMI ke dalam pemerintahan Orde Baru ibarat dua mata pisau.[12] Satu sisi itu wujud pengabdian (kebutuhan) kepada bangsa dan negara. Namun di sisi lain pesta pora ini membuat generasi HMI yang lebih muda, terutama di tingkat PB HMI, sulit keluar dari zona mapan politik kekuasaan. Parahnya lagi, meski Orde Baru sudah berakhir, kader HMI belum lagi sadar bahwa periode keemasan organisasi sudah selesai.
Beberapa kader HMI ada yang mencoba kembali ke kampus sambil berusaha meneruskan ide-ide keagamaan (pembaharuan pemikiran Islam) Nurcholish Madjid. Tapi mereka terlambat: Lahan dakwah di kampus sudah diambil alih oleh organisasi Islam lain seperti HTI, PKS, dan Salafi[13]. Kelompok keagamaan ini menurut Sidney Jones[14] berkembang pesat di kampus-kampus terutama Jawa Barat seperti Bogor.[15] Gerakan dakwah mereka memusatkan pada penguasaan masjid-masjid kampus menggunakan simbol-simbol Islam formalistik ekslusif.
Pengaruh HMI di kampus-kampus ternama Indonesia pun memudar. Mahasiswa-mahasiswa yang diharapkan Lafran Pane akan menjadi kader inti HMI itu sudah tidak lagi tertarik dengan HMI. Mereka memandang Gema Pembebasan ataupun KAMMI lebih mewakili semangat mahasiswa Islam. Akibatnya sangat sulit bagi kader HMI untuk bisa bersaing dalam pemilihan pimpinan mahasiswa, baik di tingkat fakultas maupun universitas.
PB HMI Periode 2006-2008 di bawah Fajar R Zulkarnaen pernah mencoba berbenah. Pada pertengahan 2007, Arif Mustofa Kabid PA PB HMI waktu itu, mengundang perwakilan kader HMI dari beberapa kampus ternama, terutama di Jawa ke Jakarta. Mereka dilatih di GIC Depok tentang bagaimana strategi rekruitmen HMI di kampus-kampus negeri.[16] Gerakan HMI Back to Campus ini berlanjut setelah Arif Mustofa menjadi Ketua PB HMI Periode 2010-2012.
Sayang sekali HMI Back to Campus berakhir di tengah jalan. PB HMI setelah Arif Mustofa tidak mampu meneruskan gerakan HMI kembali ke kampus secara konsisten. Bahkan konflik perpecahan di PBHMI membuat gerakan ini mandeg. Dari tingkat Pengurus Besar sampai tingkat komisariat kembali lagi tidak memiliki persamaan persepsi tentang bagaimana gerakan HMI. Perkaderan hanya berjalan seadanya saja, tergantung kepada kemampuan kepemimpinan pengurus komisariat dan cabang setempat.
Periode PB HMI 2013-2015 tiba-tiba membuat gerakan HMI untuk Rakyat[17]. Suatu slogan yang mereka khianati sendiri pada Kongres XX1X HMI di Pekanbaru.[18] Kita ketahui bersama di Pekanbaru kader HMI, terutama fungsionaris PB HMI, telah merugikan masyarakat Riau. Selain merusak fasilitas gedung milik publik, mereka juga melakukan tindakan kriminal.[19]
Tapi sebenarnya jauh hari sebelum Kongres memalukan itu, Saya sudah pisimistis HMI akan bisa kembali bermanfaat untuk rakyat. Bagaimana caranya HMI bisa bersaing dengan LSM, partai politik, lembaga penelitian, ormas kepemudaan yang mapan seperti Pemuda Pancasila, GP Ansor, KNPI, dan tentunya kehadiran media massa yang begitu massif sekarang ini.
Sebenarnya perkembangan HMI di kampus Islam seperti UIN dan Muhammadiyah juga memprihatinkan. Kader HMI tertinggal oleh kader PMII, apalagi setelah munculnya kelompok NU liberal-Jaringan Islam Liberal (JIL). Sementara kader-kader IMM lebih mencitrakan diri sebagai kelompok lslam modernis (Muhammadiyah). Peran HMI di kampus-kampus Islam ini tidak lebih dari sekadar penggembira.
Kampus dan Cabang Kecil
Perkembangan HMI di perguruan tinggi swasta seperti Tegal, Bumiayu, Brebes, Pemalang, dan Kebumen justru menggembirakan. Tapi sehebat apapun pola berfikir aktivis HMI di kampus-sekaligus cabang kecil ini-tidak akan cukup signifikan bagi masa depan organisasi.[20] Selain sebagian besar kampus tersebut merupakan kampus Islam[21], jumlah mahasiswanya pun belum terlalu banyak.
Perkembangan HMI di kampus dan cabang kecil di atas justru semakin memperjelas kemunduran HMI. Contohnya di Badko Jawa Tengah-Daerah Istimewa Yogyakarta (Jateng-DIY). Dalam dua periode terakhir, Ketua Badko-nya tidak diduduki kader-kader dari kampus UGM, UNY, UNDIP, UNNES, dan UNS. Padahal belum pernah terjadi sebelumnya-Cabang besar (tua) seperti Yogyakarta, Bulaksumur, Solo, dan Semarang dipecundangi Cabang kecil (muda) seperti Tegal dan Purwokerto.
Banyak alumni HMI setempat kecewa. Bagi mereka ini merupakan kemunduran luar biasa di tubuh HMI, khususnya di Jateng-DIY. [22]
Saya yakin apa yang terjadi di Badko Jateng-DIY juga terjadi di Badko lainnya. Bahkan fenomena kemunduran ini juga sudah lama terjadi di Cabang[23] apalagi PB HMI. Sangat sulit kader-kader HMI dari kampus ternama untuk bisa bersaing menjadi pimpinan tertinggi HMI. Padahal menurut Amidhan[24] di Cabang Yogyakarta sejak 1960-an tidak pernah terpilih Ketua Umum dari kalangan mahasiswa agama seperti IAIN (UIN) atau Universitas Muhammadiyah. Demikian juga di tingkat PB HMI dari awal selalu yang terpilih dari mahasiswa umum, barulah ketika Kongres VIII HMI di Solo Ketua PB HMI dimenangkan kader dari kampus agama (Nurcholish Madjid). Satu dan lain hal karena memang HMI didirikan terutama pada waktu itu untuk perguruan tinggi umum.[25]
PB HMI Sibuk Ngurusi Perut
Pada 2009, saya pernah beberapa hari menginap di kontrakan seorang petinggi PB HMI. Kontrakan dua lantai di tengah Jakarta itu berisi 10-15 orang. Mereka merupakan kader HMI dari daerah yang duduk sebagai PB HMI. Selain menjadi pengurus, ada di antara kader-kader itu yang sedang melanjutkan S2, mencari pekerjaan, dan sebagian besar lainnya (agaknya) pengangguran. Entah bagaimana caranya mereka bisa makan minum serta memperoleh koneksi internet gratis selama dua tahun di tempat itu.
Mereka sudah sarjana, usia semakin tua, bahkan ada yang sudah berkeluarga. Siang hari personil PB HMI itu tidur, baca buku, diskusi, kuliah, dan menonton berita politik Tanah Air. Sedangkan di malam hari, saya sempat lihat satu di antara mereka, pergi pamit untuk menemani seorang senior menghadiri pertemuan partai politik di satu hotel besar Jakarta.
Belakangan, setelah Bos Besar di markas tersebut gagal di Kongres Depok, semua penghuni bubar jalan. Banyak di antara mereka terpaksa terjun sebagai broker politik kelas teri, merapat ke senior di berbagai partai politik, mendirikan LSM, dan tentunya berusaha kembali masuk sebagai fungsionaris PB HMI. Bagi para aktivis pejuang sekaligus petualang ini, semua bisa digarap asal bisa tetap survive di Jakarta. Ada juga di antara mereka yang pulang kampung sekaligus gagal lulus S2 di Jakarta.
Cerita heroik sekaligus menyedihkan di atas merupakan gambaran nyata bagaimana PB HMI saat ini. Ratusan personel pimpinan HMI tertinggi di Jakarta bukanlah aktivis ideal lagi. Mereka tidak lagi progresif seperti halnya ketika masih menjadi pengurus komisariat ataupun cabang. Sebagian besar dari mereka sudah harus sibuk ngurusi perut, S2, keluarga, dan karir pekerjaan. Hal ini wajar, personil PB HMI sudah bukan lagi mahasiswa, melainkan sarjana.
Kembalikan Citra HMI
Jika tidak ingin semakin redup, terutama di kampus umum, Ridwan Saidi[26] mengingatkan agar kader HMI segera berbenah. Dia mengatakan, penyebab kemunduran tersebut ialah karena HMI telah mengubah citranya dari wadah kemahasiswaan menjadi wadah keagamaan. Perubahan ini disebabkan karena aktivis-aktivis HMI berorientasi (terjebak) dengan slogan modernisasi Nurcholish Madjid. Ketika slogan tersebut memudar, HMI sebagai bagian pembawa slogan pun turut memudar.[27]
Ridwan Saidi meminta HMI tetap mempertahankan citranya sebagai lembaga kemahasiswaan serta kelompok intelektual muda. Artinya HMI harus kembali mempertegas status kemahasiswaannya dan menyusun program-program yang berorientasi kepada kemahasiswaan. Mantan politisi PPP ini selanjutnya mengingatkan agar HMI tidak perlu melahirkan slogan-slogan baru-yang bertujuan membela diri agar terkesan masih menjadi organisasi hebat di kampus.
Saya rasa ada baiknya kader-kader HMI dari komisariat sampai PB HMI sudah harus mengingat pesan Ridwan Saidi di atas. Coba saja baca beragam tema perkaderan dari LKI sampai LKIII yang terpampang di berbagai spanduk dan proposal sumbangan alumni. Belum lagi tema-tema bombastis di setiap Konferensi Cabang, Musyawarah Daerah, dan Kongres HMI dari tahun ke tahun. Tengok saja Kongres Pekanbaru kemarin, temanya luar biasa: Strategi Kebudayaan HMI untuk Indonesia yang Berkedaulatan.
Kirim Saja Aktivis Tua ke KAHMI
Saya yakin Anda para pembaca sudah mengerti maksud tulisan ini. Sejak awal saya sudah berusaha menjelaskan segamblang mungkin hal sesungguhnya yang harus dilakukan kader HMI. Iya, kita harus menolak para sarjana menjadi pengurus apalagi Ketua Umum PB HMI.
Para sarjana, yang menjadi Ketua PB HMI, terbukti tidak mampu sehebat generasi kepemimpinan HMI di tangan mahasiswa. Saya rasa ini harus dikaji secara serius oleh kader HMI. Mustahil para petinggi PB HMI di Jakarta, yang notabene sarjana berusia 25-30 tahun, mampu mengerti kebutuhan mahasiswa-mahasiswa berusia 17-20 tahun.
Nazaruddin Nasution[28] jauh hari sudah mengingatkan agar para sarjana minggir dari HMI. Ketika dibujuk untuk maju menjadi Ketua Umum PB HMI menggantikan Nurcholis Madjid, dia menolak dengan alas an sudah tidak lagi mahasiswa. Berikut ini kata-katanya:
Dengan bulatnya keputusanku itu, aku ingin memberikan “pembelajaran” kepada aktivis HMI lainnya, bahwa yang berhak menjadi pimpinan HMI adalah mahasiswa, sedangkan mereka yang sudah berstatus sebagai sarjana, tidak boleh lagi menjadi pimpinan mahasiswa, karena pasti akan berbeda aspirasinya. Menurut pendapatku, mereka yang melanjutkan ke pascasarjana, baik strata-2 maupun strata-3 tidak tepat disebut mahasiswa, karena mereka sudah sarjana.[29]
Agussalim Sitompul dalam beberapa kesempatan juga mengatakan hal yang sama. Menurut dia HMI ini banyak dirugikan oleh elit-elitnya di PB HMI. Para sarjana itu hanya berfikir untuk hasrat politiknya sendiri daripada perkaderan.
Kandidat-kandidat PB HMI yang semuanya sarjana juga menjadi biang kerusuhan Kongres HMI. Para sarjana itu, yang sudah tidak lagi memiliki idealisme mahasiswa, mempraktikan politik uang di setiap Kongres HMI. Mereka membeli suara utusan cabang agar bisa menang menjadi Ketua PB HMI. Mereka sudah tidak ada bedanya dengan politisi busuk. Bahkan diduga kuat menyewa preman untuk mengintimidasi adik-adiknya di Cabang.[30]
Menurut saya kepemimpinan sarjana di tubuh HMI merupakan persoalan krusial. Sudah saatnya wacana pengusiran mereka dari tubuh HMI dimunculkan. Jangan lagi HMI dijalankan oleh para sarjana tua yang pekerjaannya mencari proyek dan korup[31]. Kirim saja mereka ke KAHMI.[32] (satelit.agus@gmail.com)
[1] Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan Himpunanan Mahasiswa Islam (1947-1975), Jakarta: Misaka Galia,2008, hal. 24.
[2] Lihat Tujuan HMI hasil Kongres I Yogyakarta 1947.
[3] Ibid, hal 27.
[4] Pada 1950-an dan 1960-an, HMI sebagai organisasi ekstra kampus memiliki anggota terbanyak di UI, terutama Fakultas Kedokteran dan Fakultas Ekonomi. Lihat M. Alfan Alfian, HMI 1963-1966 Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara, Penerbit Buku Kompas: 2013, hal. 166-167
[5] Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Kesatuan aksi ini banyak melakukan demonstrasi pembubaran PKI dan banyak berjasa bagi dimulainya Orde Baru.
[6] Partai Komunis Indonesia.
[7] Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, tokohnya waktu itu Cosmas Batubara mantan Menteri Perumahan zaman Soeharto.
[8] Perhimpunan Mahasiswa Muslim Indonesia, tokohnya waktu itu Zamroni.
[9] Baca buku Sulastomo, Hari-hari yang Panjang, Transisi Orde Lama ke OrdeBaru, Sebuah Memoar, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008.
[10] Ketua Umum PB HMI 1966-1968 dan 1969-1071.
[11] A Syafi’i Ma’arif, Wawasan Keindonesiaan HMI. Harian Pelita Jakarta 9 April 1990.
[12] Dalam periode ini golongan muda Islam terdidik terutama para alumni HMI mulai memasuki lingkungan birokrasi. Dimulai oleh para alumni HMI yang dekat dengan kelompok teknokrat yang dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk menjalankan pemerintahan di bidang ekonomi, seperti Bintoro Tjokroamidjoyo, Barli Halim dan sebagainya. Dan kemudian diikuti oleh alumni HMI angkatan yang lebih muda. Setelah menduduki birokrasi, di kemudian hari alumni HMI mulai menduduki jabatan Menteri seperti Akbar Tanjung. Lihat Solichin, HMI Candradimuka Mahasiswa, Sinergi Persadatama Foundation: 2010, hal 127.
[13] Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merekrut anggota di kampus melalui Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan, sedangkan Partai Keadilan Sejahtera punya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
[14] Sidney Jonas merupakan seorang pakar dan peneliti terorisme di Asia Tenggara.
[15] Kelompok keagamaan ini berkembang pesat setelah Reformasi terjadi di Indonesia. Antara HTI, PKS, dan Salafi saling bersaing berebut pengaruh di kampus-kampus. Selanjutnya lihat NMML VII: "Sisi Gelap Reformasi di Indonesia" Orasi Ilmiah Sidney Jones
[16] Saya menjadi peserta mewakili kampus Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Jawa Tengah.
[17] Harga Kebutuhan Naik Jelang Lebaran, PB HMI Bagikan Paket Sembako di Banyumas. Jogjakartanews.com. 18 Juli 2014
[18] http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/18/079719919/gunakan-apbd-riau-rp-3-miliar-kongres-hmi-dikecam
[19] http://news.detik.com/berita/3078161/8-anggota-hmi-jadi-tersangka-karena-bawa-sajam-di-arena-kongres
[20] Kondisi ini ternyata sudah dipikirkan Ahmad Wahib sejak lama. Dia menulis “Kalau saya menyaksikan pola berfikir aktifis HMI pada cabang-cabang biasa dan terutama pada cabang-cabang kecil, maka seolah-olah lenyaplah harapan saya untuk menjadikan HMI sebagai kekuatan pembaharu”. Catatan Harian Ahmad Wahib Pergolakan Pemikiran Islam, LP3ES: 2003, hal. 277.
[21] Lafrane Pane dan sejumlah alumni HMI periode awal ingin HMI lebih berkembang di kampus umum. Di kampus-kampus Islam mahasiswanya sudah mendapatkan secara optimal materi-materi Islam, sehingga tidak lagi membutuhkan HMI.
[22] Dua periode terakhir Ketua Badko Jateng-DIY berasal dari UPS Tegal HMI Cabang Tegal dan Unsoed Purwokerto HMI Cabang Purwokerto.
[23] Dalam 15 tahun terakhir hanya lima kali kader-kader Unsoed (kampus umum) memegang tampuk pimpinan cabang. Bahkan lima tahun terakhir, berturut-turut Ketua Cabang HMI Purwokerto dari IAIN.
[24] Mantan Ketua HMI Cabang Yogyakarta, mantan Dirjen Haji, dan Ketua MUI
[25] Lihat Solichin HMI Candradimuka Mahasiswa, Sinergi Persadatama Foundation: 2010, hal. 117.
[26] Ketum PB HMI Periode 1974-1976
[27] Ridwan Saidi. Agar HMI Tidak Redup. Harian Jawa Pos, Surabaya, 17 September 1990.
[28] Nazaruddin Nasution, Sekjen PB HMI Periode 1969-1971.
[29] Nazaruddin Nasution dari Aktivis Menjadi Diplomat. Mizan Media Ilmu. 2012. hal 44.
[30] http://www.goriau.com/berita/peristiwa/hmi-jatengdiy-adakan-konfrensi-pers-terkait-teror-dan-pengeroyokan-yang-dialami-selama-kongres-hmi-di-pekanbaru.html
[31] http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/12/02/nypihg326-kisah-abdullah-hehamahua-memimpin-pb-hmi-tanpa-sepeserpun-menerima-uang-pemerintah
[32] Keluarga Alumni HMI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H