Setangkup adonan roti, ia pegang. Lamat terdengar gumam "Langkah apa lagi yang harus aku lakukan?" Ia melangkah ke ruang tengah, menggeser kursi, duduk. Ia menarik napas panjang menatap meja panjang dari ujung ke ujung, ceceran tepung terigu, lelehan telor di mangkok, mentega dalam plastik tinggal setengah, panci baskom besar berisi adonan teronggok di pinggir meja. Ia tarik baskom itu tepat di depannya, jari tangannya mengulen adonan bercampur gumannya "Tidak, aku harus total menghayatinya, menjadikan sesuatu yang beda, enak, sehat" lelehan keringat di keningnya, itu? Bola matanya mengikuti alur tangannya, bibir terkatup kencang, bulu lentik berkedip-kedip, urat di lehernya mengencang.
"Apalagi yang kau pikir?" tegurku, Ia terkesiap "Apa? Pikir? Tidak! Aku lagi menghayati tentang rasa dan perasaan, seperti kau ajarkan" sambil mengepal-ngepal adonan.
"Lalu?" tanyaku, sambil menyeka peluh di keningnya. Ia mengibaskan dan bola mata itu, menatapku. Tangannya  mengepal-ngepal adonan, 'Braaakk...' Ia membanting adonan, baskom dan meja bergetar.
Kutepuk pundaknya, "Sialan, kau membuatku kaget! Bagaimana tentang penyatuan rasa, perasaan........." Seketika, Ia potong pertanyaanku "Adonan ini pasti mengembang! Cukup aku hayati tentang rasa dan perasaan! lihat?" Sambil Ia mengepal-ngepal adonan dan menunjukkan padaku. Ku tatap wajahnya, matanya menatap tajam adonan, cuek.
"Lalu?"
"Ah kau sukanya memancing dengan kata lalu? Tiada kata lainkah, selain lalu, lalu...lalu?" ia tersenyum, wajah bening, kening basah peluh, Ia menggigit bibir tipisnya. Sangat-sangat jelas terlihat, ia meresapi penghayatan meleburkan diri sendiri dalam rasa dan perasaan.
"Kenapa kau tidak jawab? Pertanyaanku....?" Belum selesai ucapku, Siluet kabut tipis membawa Ia dari hadapanku, menguap, lalu hilang. Aku terperangah?
...................
Bunyi dering SMS mengusik tengah malamku. Sambil tetap tiduran, kulihat sepintas, kuamati sejenak, tiada isi, kosong? Terlihat hanya kode area dari kota dulu aku berasal. Lantas aku berani memastikan pesan ini pasti darinya.
Lima tahun sudah aku mencarinya, limatahun tak saling berkabar. Tentu, awalnya aku selalu berkirim kabar dan terus mencarinya, tapi Ia tiada balas kabar, ia menguap, melayang. Itulah penyebab, nomor hp, pun memori kenangan bersamanya dalam otak ku menguap lalu melayang. Ketika itu, bila aku pikir konyol juga. Sekarang, tiada angin dan hujan tengah malam, Ia mengusikku. Aku cuek, Hp ku taruh di meja. Aku berebahan, mendekap guling. Ketika, lelap hampir menghapiriku, aku tersentak kaget. Bunyi Hp nada panggil, membuyarkan lelapku. Kuraba meja, Hp kupencet, mata malas melihat layar.
"Halo? Ini tengah malam" Sapa dan tegurku malas.
"Maaf" Jelas kutangkap, suara khas Ia galau.
"Lupakan"
"Kau masih marah?" Jawabnya, desah napasnya menggetarkan bulu kudukku.
"Lalu?"
"Selalu 'lalu'? Rasa dan perasaanku serasa kau sesaat baru pergi?"
"Ya.. lalu siapkah kau menyatukan 'rasa' dan perasaan? Bukan hanya sekedar  penghayatan?"
"Kau sendiri yang mengajariku tentang penghayatan 'rasa' dan 'perasaan' dalam olah ini. Ketika itu aku praktekan, kutangkap kau tidak suka?"
"Lalu...?"
"Lalu? Kenapa kau tinggalkan disaat itu! kau terlalu!!" Ia teriak, lalu hening. Sesaat, kurasakan desah napas menghembus telingaku. Aku terkesiap, tak sempat menjawab. Kutangkap, gemrisik kain beradu. Siluet kabus tipis menampakan sosok Ia di hadapanku. Aku rengkuh erat, tiada kata bisa aku ucap. Ku pejamkan mata, meresapi, menggeliat, melayangkan sukma melesat ke taman Surgawi, Jiwa-jiwa menari-nari telanjang, nyanyian kidung Asmaradhana mengalun mengisi jagat alam semesta, damai-damai-damai. Helaan napas dan degup jantung, menyadarkan ia dan aku masih berpijak bumi. Bagi dia perjalanan waktu bagai detik.
"Aku sudah menyadari, ternyata rasa dan perasaan ini harus kita satukan" Ia berbisik. Hembuskan napas, menggelitik telinga, aku beringsut kesamping menghadapnya. Kurengkuh dan kusatukan jari-jari tanganku, kabut tipis membawa kebersamaan, meleburkan ia dan aku. Lalu..........
"Kita...?" Aku berbisik
"Yaa...kita?" Ia berguman
"Sudah tidak ada kau dan aku?" aku berbisik
"Melebur rasa dan perasaan?" Ia beguman
Ia berguman, aku berbisik, di setiap ulenan adonan, baskom bergetar. Lelehan keringat, membasah jenjang lehernya. Jari lentik, belepotan adonan mencengkeram keras, otot-otot mencuat di sekejur tubuh, di iringi leguhan, dan gumanan menggetarkan bibir titipisnya, tak terdengar jelas, mata sayu menyipit. Ia dan aku menyatu.
Jari-jari kami mengangkat adonan halus lembut "Nikmati, resapi sentuhan kebersamaan ini, lagi dan lagi...." Ada 'touch' yang sulit kami lukis. Adonan Ia taruh di atas wajan lebar. Ia balik lalu di angkat di taruh dalam piring ceper, di beri topping. Lalu...
...........
Setahun sudah kebersamaan ini, akhirnya menjelma jadi Kedai. Menu utama Roti Meriam Pedas, dengan berbagai variannya. Tempatku duduk pojok belakang di meja kasir, itu bidang ke ahlianku mengelola administrasi dan keuangan. Sedang tentang lay out tempat, Ia ahlinya. Ia menempatkan meja beroda, setengah lingkaran di tengah ruang, itu awalnya. Disekelilingnya, kursi-kursi mungil, konsep minimalis.
Di atas meja terlihat panci almanium kotak-kotak berisi Jamur Kuping, Tiram, Merang, dan daging Ayam, Sapi dan Kambing serba cincang yang sudah matang. Sedang dalam panci berisi kuah kare kental. Disampingnya dalam tempat yang bersih, batangan keju dengan parutanya, sepuluh kaleng susu kental, warna warni mesis dalam setiap stoples, dua botol minyak goreng bermerk dan satu lembar keramik putih besar, sebatang kayu bundar panjang duapuluh senti. Di deretan belakang, wajan pipih besar dan tebal, diameter limapuluh senti, nangkring di kompor gas lingkar bermata banyak, diujung kran, terlihat menjulur selang panjang menuju tabung gas.
Di atas pintu masuk terpapang spanduk 'Kedai Roti Meriam Pedas'. Di belakang meja kasir, terpapang papan tulis. Tertulis, daftar menu lengkap, di tulis memakai kapur warna warni. Di sekeling tembok terpajang empat poster-poster pesan-pesan No Smoking .......... Health.... Vision... Prayer.
Kedai itu, berdiri di pojok Timur, diantara deretan ruko-ruko. Disitu Ia tinggal dan beraktifitas. Menyatukan rasa dan perasaan Ia dan Aku. Di sudut ruang, tempat kami berbagi cerita, sambil  Ia menemaniku menghitung pemasukan, semakin hari semakin menggunung.
Di kedai kami, setiap memasuki hari ke tiga, tata letak meja dan kursi, selalu pindah posisinya. Seperti sekarang ini, meja itu Ia geser dekat pintu masuk. Itulah kenapa mejanya memakai roda. Pun demikian kala menggeser posisi meja dan kursi. Ia coba tempati dan duduki cukup lama, Ia resapi. Aku melihat itu, hanya senyum-senyum dari balik meja kasir, di sudut Timur. Tentu, tidak semua pelanggan berkenan.
Namun, dengan gaya meyakinkannya Ia akan bercerita tentang makna apa di balik pergeseran itu? Satu alasan yang selalu aku kuping dari balik meja kasir 'Bahwa hidup itu harus dinamis, pun tata letak ruang kedai ini. Saya perlakukan sama, Anda disini bukan hanya menikmati menu-menu kami, tapi coba nikmati dan resapi isi ruang ini, buka indera mata Anda? Lengkap sudah Anda menikmati rasa dan perasaan yang di wakili setiap indera Anda' Â selalu Ia ulang di depan para pelanggan. Ia sendiri penikmat sejati berbagai gaya dan posisi, ku akui itu!
.................
Ketika pagi jelang siang, jelang detik-detik jarum jam menuju angka dua belas. Ia sudah berdiri disamping pintu masuk, sambil memegang setangkup adonan roti. Matanya melihat jam dinding, menunggu jarum detik tepat di angka duabelas. Ia akan membuka pintu masuk dan membalik tulisan dari tutup menjadi buka. Tentang ketepatan waktu, Ia tidak kopromi. Pun demikian ketika melayani pelanggannya, satu menu Ia mematok waktu 'tiga menit tigapuluh tiga detik' tepat! Sudah tersaji, mulai dari mulai menggilas adonan, melebarkan adonan di atas keramik, menggulung, menggoreng sampai memberi toppingnya dan menyajikan. Ia tidak pernah meleset satu detikpun. Itupun, Ia masih sempat nyerocos 'Disini anda, tidak hanya datang, duduk menikmati sajian, membayar lalu pergi!' sambil meracik adonan. Sambungnya 'Anda juga saya ajak menikmati aktifitas saya, ini Bung...lihat?" Ia melempar adonan, berputar, Ia meliukkan badan, kedua tangan tengadah tepat di bawah putaran, tanganpun Ia putar. Tepuk tangan membahana, mata-mata memadang takjub.
Ia beratraksi, terus dan terus..... aku di balik meja kasir hanya senyum-senyum. Ia sangat-sangat menghayati dan menikmati setiap tatapan kekaguman, tepuk tangan, sanjungan-sanjungan. Kini, bukan hanya meriamania saja yang datang, bahkan bagi mereka yang tidak suka pun berkunjung, mereka penasaran. Ada juga penikmat atraksinya daripada menyantap roti meriam pedasnya yang mereka pesan, tapi ujung-ujungnya menjadi langganan tetap.
Ia semakin menggila, membuat berbagai terobosan menu-menu baru dengan segudang variasi toppingnya, itulah kenapa tulisan memakai kapur, Ia dengan seenaknya akan menghapus, mengganti atau menambah daftar menu. Tentu, Ia semakin menuntut aku di setiap pagi lepas Subuh, menyatukan rasa dan perasaan mengaduk tepung-tepung dalam baskom semakin lama semakin besar dan besar. Genggaman kebersamaan tangan-tangan kami pun semakin menjauh tak terjangkau, klimakpun semakin jarang dan sudah enam bulan ini menguap di telan kabut. Akhirnya, Ia selalu uring-uringan. Puncaknya, ketika tepat pagi jelang siang, ketika akan membuka Kedai. Ia kulihat berwajah masam, gelisah, merancau tak jelas, menatap detik-detik jarum jam menunjuk angka duabelas, Ia kulihat wajahnya semakin menegang, ditangannya setangkup adonan Ia kepal-kepal, terlihat otot-ototnya menegang, mengeras, berdenyut-denyut. Ia seakan akan klimaks.
Ia kutegur "Hari ini kita libur, menata ulang kebersamaan rasa dan perasaan kita yang semakin renggang, jangan terlalu tenggelam dalam egomu, dengar suara detik-detik semakin lama semakin keras, dan suara-suara di luar sana semakin bergemuruh, tak dengarkah kau?" Ia sekilas menatapku "Kau yang semakin ego, kau hanya mendengar suara detik-detik itu! tak pernah kau melihat jarum-jarum detik itu melangkah! Dengar, lihat dan resapi suara detik itu adalah musik pengiring jiwa, dan suara gemuruh itu jiwa-jiwa kelaparan"
Tanpa sadar aku menengok ke arah jam dinding, terlihat detak jarum sedang melangkah menunjuk angka sembilan ke angka sepuluh, kurang sepuluh detik lagi Ia akan membuka pintu masuk. Sekian detik aku menoleh, aku terkesiap mendengar pintu di buka, belum waktunya. Seketika aku terpana, mataku terbelalak, mulutku terkunci, melihat air bah menerjang masuk dan menenggelamkanya. Ia semakin lama semakin tenggelam...tenggelam, tanganku tak kuasa menggapai. Aku hanya bisa terpaku memandang buih-buih memecah di permukaan air dan setangkup adonan roti mengapung...
Tamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H