Mohon tunggu...
Singgih Swasono
Singgih Swasono Mohon Tunggu... wiraswasta -

saya usaha di bidang Kuliner, dan pendiri sanggar Seni Kriya 3D Banyumas 'SEKAR'. 08562616989 - 089673740109 satejamur@yahoo.com - indrisekar@gmail.com https://twitter.com/aaltaer7

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wajah Itu? Sosok Itu? Songkok Itu?

14 Maret 2012   17:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:02 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku bergegas masuk, “Hotel Dynasti” pintaku. Menutup pintu. Aku terkesiap, jantungku bagai terpukul godam, berdegup kencang, napasku sesak. Ketika, melihat sosok di depanku. Sosok itu? Wajah itu? Songkok putih itu? Tidak, tidak aku lupa!

***

Hujan lebat disertai angin kencang, menyambutku saat baru turun dari Bus Patas Jogya Purwokerto. Berhenti, tepat disamping bundaran Patung Gatot Subroto. Disamping Selatan, tempat pangkalan Taksi. Tapi, saat kakiku menjejak tiada terlihat satupun taksi yang mangkal.

Aku dipaksa situasi alam tidak bersahabat, di bawah teritis warung beratap seng, menjorok ke jalan, aku meneduhkan tubuhku. Warung ini, terbuat dari gedek, pintunya terlihat tutup.

Dinginnya AC bus, masih tersisa. Tempias air hujan dan angin yang cukup kecang, menggigilkan tubuhku. Sambil mata melihat patung Gatot Soebroto dan lampu-lampu taman pedar sinarnya, terkena siraman hujan.

Ketika, hujan menyisakan gerimis. Aku dikagetkan kelebatan kilat. Seketika, melintas dalam pikiranku pula bayang-bayang kenangan pahit, manisnya kehidupan tinggal di kota ini. melayang ke waktu delapanbelas tahun yang silam.

Saat pikiranku melayang menyelusuri lika liku kehidupanku. Aku melihat, seleret lampu sangat terang dari samping kiri, berhenti. Sebuah mobil berwarna biru, di atasnya ada tulisan Taksi, membuyarkan lamunanku.

Aku bergegas masuk, “Hotel Dynasti” pintaku. Menutup pintu. Aku terkesiap, jantungku bagai terpukul godam, berdegup kencang, napasku sesak. Ketika, melihat sosok di depanku. Sosok itu? Wajah itu? Songkok putih itu? Tidak, tidak aku lupa!

Sekilas aku melihat kaca spion, tanpa aku sadar mataku bertatapan. Satu kali tarikan dan hembusan napas panjang, meluruhkan hatiku dan menenangkan degup jantungku. Dalam pikiranku ‘Melihat gelagatnya Beliau tidak mengenalku, syukurlah’

Dengung AC, mesin mobil, keciprat air terdengar jelas. Pedar lampu jalan. Kelebatan lampu-lampu kendaaraan. silih berganti menerangi wajahnya.

***

Di Gang Arimbi, Grendeng. Aku kos, berdekatan dengan Masjid besar, ketika itu aku kuliah di Fakultas Biologi. Dan di Masjid itu, aku selalu Sholat dan mengikuti kegiatanya. Akhirnya mengantar aku berkenalan dengan Takmir Masjid.  Namanya Soedardjo, panggilannya Pak Uztad Darjo. Pensiun muda, Hakim Pengadilan Agama dan salah satu Dai kondang. Anaknya tiga, pertama laki-laki, kedua dan ketiga perempuan.

Dari interaksi itu, aku di tawari tinggal di rumahnya, gratis. Aku diberi kamar bekas gudang, di belakang rumah, disitu aku tinggal. Membawaku, lebih dekat dengan anak-anaknya, terutama dengan yang nomer pertama,  yang  sedang mondok di Pesantren terpadang di Jogya, anak kebangaan Bapaknya. Bila pulang, selalu menemuiku. Dimanakah Ia, sekarang?

*****

Saudara Sigit, ikut kami ke Polsek?” Aku digagetkan teguran dua orang. Saat, aku puang kuliah.

Ada Pak?” tanya saya.

Jangan banyak tanya!” Jawabanya dengan bentakan.

Saya, ke kos dulu?” Pintaku.

Tidak ada waktu! sekarang juga ikut bersama kami!” Bentakan jawaban yang aku terima. Aku melihat kanan kiri. Puluhan mata menatapku. Terlihat satu orang sudah mengeluarkan borgol.

Akhirnya aku ikuti kemauan mereka, dengan membawa seribu tanda tanya? Lewat pintu samping. Aku masuk dalam ruangan pengap. Terlihat, lampu pijar gantung, menyala redup. Jendela tertutup, di tengah ruang meja panjang dan kursi. Lemari besar, memepet tembok, berisi peralatan Dalmas.

Setelah aku duduk. “Saudara tahu, dipanggil ke Polsek!, di kamar kost saudara di temukan satu ons ganja kering!, ini barang buktinya dan ini putung rokok ganyanya!” suara itu tegas, dengan tatapan mata, menusuk jantungku.

Deg…aku seperti di sambar petir di siang hari bolong. Aku terdiam sesaat ‘Dari mana ganja itu sampai di kamar kosku?’ dalam pikiranku.

Tidak tahu, Pak? Ganja apa Pak?, saya tidak pernah memakai, saya tidak merokok dan… ?” jawabku, bingung.

Jangan berpura-pura!, sebelum berangkat kuliah, memakai ganja!. Saudara, hukumnya tidak main-main bagi pengedar, pemakai dan perusak generasi muda!. Jangan mempersulit pemeriksaan, Bila bekerja sama dengan baik! Akan mengurangi hukuman saudara, ganja ini saudara dapat dari mana!” katanya membentak dan sambil menggebrak meja.

Saya tidak berpura-pura, Pak. Sungguh saya tidak tahu? Saya tidak merokok? Saya…?” Jawaban ini adalah awal neraka hidupku. Beribu satu penjelasan, pembelaan diri, bantahan dan entah apa lagi namanya? Jawaban mereka adalah Pentungan kayu rotan, pukulan dan ancaman di tembak, dikarungi. Menghancurkan sendi sekujur tubuhku dan mentalku. Rasa pilu, menemani tidurku dalam sel, berlapisan tiga lembar koran bekas.

Jelang tengah malam, aku interograsi. Siksa neraka dunia terulang sampai jelang Subuh. Akhirnya, menjebol benteng pertahanku. Aku tidak berdaya, walau aku merasakan banyak sekali kejagalan dan ke anehan dalam tunduhannya.

Ditutup dengan kata-kata “Silahkan pembelaanmu di pakai di Pengadilan! Barang bukti, saksi, dan pengakuan cukup! Tanda tangani berkas ini! Coba, dari awal saudara bekerja sama dan tidak mempesulit pemeriksaan, tidak seperti ini jadinya” kata mereka menggelegar dan diiringi tawa penuh kemenangan. Suara tawa itu, terpatri dalam sanubariku sampai sekarang.

Tiga hari setelah di ‘kompres’ fisik dan mentalku, pagi jelang siang, aku dikeluarkan dari dalam sel. Menemui dua orang, berpakaian rapi dan mencangklong tas hitam duduk berhadap-hadapan, di ruang yang di atas pintunya tertulis Kanit Serse Narkoba.

Siang Mas Sigit, kami Pengacara dari LBH di tunjuk untuk mendapingi saudara

Pengacara?” Tanyaku, dengan tatapan kosong.

Ya Kami dari Lembaga Bantuan Hukum, untuk mendampingi saudara, kasus ini hukumannya berat lebih dari lima tahun, wajib didampingi pengacara, ini di tandatangani surat kuasanya” Jelasnya.  Aku tandatangani. Sepintas, aku lihat di surat kuasa itu belum ada tanggalnya. Setelah itu di tanya-tanya lagi, tapi aku sudah tidak peduli.

Aku hanya bisa pasrah total pada Sang Khalik. Satu hari dalam sel, bagai satu bulan rasanya. Bila malam tiba, lintasan wajah Ibu, Bapak dan adik-adikku nun jauh di seberang memeras air mataku.

***

Minggu pertama, saat pagi jelang siang, tiga temanku menengok kembali “Git, setelah aku ceritakan semuanya pada Bapakku. Katanya, banyak sekali kejanggalannya, besok Senin pagi, akan kesini siap jadi pengacaramu, gratis” Aku tercekat mendengarnya. Kata-kata Herman bagai Malaikat penyejuk hati, tiada kata yang aku bisa ungkapkan. Aku rangkul Herman, tak terasa aku meneteskan air mata, haru. Siapa yang tidak tahu, pengacara kelas kakap itu?

Sudah Git, sabar saja. Ini  Agus, diam-diam Bapaknya baru tiga bulan menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi di sini” kata Teguh sambil menepuk-nepuk pundaku.

Pantas, tadi aku lihat Polisi-polisi sikapnya berubah, aku baru tahu Bapakmu seorang Jaksa dan Bapakmu Pengacara terkenal itu?” Aku pandangi satu-satu teman-temaku.

Belum lama, dinas disini. Oya…Aku sudah ceritakan kasusmu. Tapi, Bapakku tidak bisa berbuat banyak. Kasus Narkoba, pelik Git. Nanti, kalau berkas sudah masuk ke Kejaksaan, akan di pelajari lebih lanjut. bila ada kejanggalan yang tidak masuk akal, baru nanti bisa membantu, tenang saja Bapakku anti beginian” Jelasnya, sambil menggerakan dua jari tangan, seperti orang menghitung uang.

***

Ketika Jelang tengah malam, aku di kagetkan gedoran yang cukup keras. Kubuka pintu kamar, terlihat wajah kucel sangat aku kenal, menggendong rangsel.

Mas Rio, masuk, baru pulang dari mana?” Aku menyilahkan masuk, sambil salam-salaman.

Baru pulang dari Jogya, Mas saya numpang tidur disini? Pintanya.

Silahkan, tapi maaf  kamar seperti kapal pecah” Jawabku sambil menguap.

Tidak masalah, kalau besok pagi ada kuliah, saya masih tidur, tinggal saja, oh yaa jangan kasih tau Bapak, Ibu saya tidur disini” Jawabnya, terlihat mengeluarkan bungkusan dari dalam rangsel.

Ok…Mas santai saja, monggo” Jawabku sambil merebahkan badan.

Ketika bangun, rasa pengap bau asap pekat menyergapku, asap itu berbau khas. Aku buru-buru membuka jendela. Terlihat gang di belakang kamarku, mulai ramai lalu-lalang aktifitas orang. Pagi itu aku lihat, anak Bapak kost lelap tidurnya.

Ternyata, dari bau asap ‘khas’ daun ganya terbakar terendus Polisi yang tinggal di seberang kamarku, akhirnya menjebloskan aku di balik jeruji besi, selama limabelas hari.

***

Ketika, aku memandang ke luar melalui jendela taksi, terlihat kilasan wajah-wajah masa lalu, berkelebat. Taksi berhenti di lampu merah.

Sudah lama Pak, jadi sopir taksi?” Aku coba mencairkan kebekuan

Sudah hampir delapan tahun

Boleh saya minta nomer Hp Bapak

Hanya anggukan kepala yang aku dapat, sambil tangannya membuka dasboard, mengeluarkan satu lembar kartu nama.

Terimakasih Pak

Aku baca kartu itu,  nama lengkap, no Hp dan alamatnya. Bapak ini, sudah tidak di Gang Arimbi. Alamatnya jauh di pinggir kota, di Perumahan RSS.

Tamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun