Mohon tunggu...
Singgih Swasono
Singgih Swasono Mohon Tunggu... wiraswasta -

saya usaha di bidang Kuliner, dan pendiri sanggar Seni Kriya 3D Banyumas 'SEKAR'. 08562616989 - 089673740109 satejamur@yahoo.com - indrisekar@gmail.com https://twitter.com/aaltaer7

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Waris.. Lagi-lagi Warisan…

10 Maret 2011   05:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:55 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dilema dalam keluarga dan terkadang jadi pecah 'perang' saudara sedarah, apa lagi pemicunya kalau bukan masalah bagi waris, permainan 'rasa' kedekatan, pilih kasih dan disisipi politik 'adu domba' dari salah satu saudara. Perlakuan itulah yang menutup rasa ketidakadilan kebersamaan saudara sedarah, atas nama pemegang hak waris mutlak disatu tangan dan tanpa mau melihat/mengkaji sisi2 lain cara bagi waris secara adat, Agama dan aturan hukum negara, ini yang aku tangkap dari cerita saudaraku dari A s.d Z dia tumpahkan semua kepadaku tadi sore dari jam 3.30 an sore sampai jam 09.30 malam inilah sepenggal catatan dariku atas ijinnya untuk berbagi di blog kompasiana ini. Saudara jauhku baru datang dari Cilacap datang tanpa kabar-kabar, tidak seperti biasanya kalau mau datang sms-an dulu, kaget benar-benar kaget aku lagi di depan monitor/membaca blog kompasiana, ketak-ketik tanggapan, dengan mata merah dan wajah kusut nylonong tanpa permisi, "tolong buatkan kopi, pusing kepalaku", sekali lagi kulihat wajahnya dalam batin ini orang pakai montor pasti kebut-kebutan. langsung aku buatkan kopi kental gelas besar sambil aku tawari makan. Bukan jawaban aku terima, tapi dia langsung nyrocos "ini kalau politik masuk dalam urusan keluarga jadi ruwet, mementingkan saudara lain mengorbankan yang lain, kalau ngomong enak didengar siapa yang tidak kepincut, pinter banget saudaraku yang lainpun mengamini apa maunya, seolah-olah tidak ada dosa kalau ngomong" aku taruh 1 gelas besar kopi didepannya "minum dulu kopine, sebenarnya ada apa koq gemrungsung (tidak tenang) masa sesama saudara main politik2an. Itu perasaanmu saja" Dia ambil gelas kopi ditiup-tiup bibir gelasnya sambil di srupuuut pelan, ah kulihat menikmati sekali, "kurang manis diaduk sendiri saja" kataku, "aduh panas, gelasnya besar banget, rasanya sudah pas pait2 ada manise" katanya, aku sambung "mbok ya cerita dari awal jangan langsung nembak, sabar. Klenger aku tidak tau juntrungnya" Dia ambil gelas kopi sambil tiup2 sruput..."tadi siang dipanggil kumpul dirumah sama saudara lainnya intinya ibu mumpung masih sehat dan jaga-jaga mbok nantinya setelah meninggalnya sudah ada pembagian waris tinggalan bapakku dan tanah waris ibu sendiri, supaya jangan ribut antar saudara nantinya" dia mulai kelihatan tenang Diam sejenak taruh gelas kopinya, dia mulai cerita lagi "tadi siang kumpul keluarga, yang membuka kakakku 1 menyatakan bahwa tanah waris tinggalan bapak semua sekarang sudah jadi hak milik mutlak ibu, jadi apapun keputusan ibu harus dihormati semua" terus kakaku bilang lagi "akupun tidak berhak meminta jadi apapun nanti keputusan dari seorang Ibu adalah benar dan apa maunya ibu harus dituruti dan wajib ditaati karena keputusan ibu adalah keputusan 'Tuhan', karena sorga itu ada dibawah telapak kaki ibu, dan saat inilah waktu yang tepat ibu sudah siapkan wasiat secara tertulis, ingin membagi waris kepada anak-anakknya" Aku potong "benar kata-kata kakakmu bahwa sorga dibawah kaki ibu, keputusan ibu itu keputusan 'Tuhan', dan setelah bapak almarhum ya otomatislah jatuh ke tangan ibu jadi hak mutlak dan memang sudah seharusnya waris itu dibagi ketangan anak-anaknya bagi yang mau menerima atau diwakafkan, jadi apa isinya tulisannya dan masalahnya" aku jadi kepingin tau urusan saudara jauh ini. Sambung dia "tadi ibuku nulis surat yang nantinya akan jadi wasiat yang membacakan kakaku 1, isinya pertama memberikan rumah beserta tanahnya untuk anak yang bungsu adikku, kedua tanah waris dari ibu yang di desa ada dua bagian yang satu bagian diwariskan untuk kakaku dan satu bagian lagi adikku, ketiga aku diberi tanah sebelah timur seluas 8 ubin tambah 1 ruko didepan dan keempat ketiga ruko didepan rumah yang dipinggir jalan tetap jadi milik adikku, nanti setelah ini surat ditandatangani semua" saat dia minum kopi, aku langsung potong "lha kalau itu sudah keputusan dari ibu yang punya hak mutlak atas tinggalan bapakmu, ya sudah terima saja dan bagaimana saudara2 yang lain menerima kan" "inilah kenapa kesini aku pengin tau pendapatmu dan kamu kan tau orangtuaku dan saudara-saudaraku semua, sebenarnya aku tidak sependapat dengan cara bagi waris seperti itu? Tapi gimana lagi yaa...aku serba salah kalau aku punya pendapat nanti dikira anak durhaka sama ibu, saudara yang lain jelas setuju karena punya prinsip apapun keputusan yang diambil oleh ibu itu keputusan 'Tuhan' tidak boleh diganggu gugat" lanjut dia "mungkin juga karena sudah dapat bagian lumayan, walau lisannya pada bilang - aku tidak diberipun tidak apa2, aku tidak akan meminta waris - rumah yang sekarang aku tempati kalau ibu minta aku berikan - dan satu lagi bilang - harta tidak dibawa mati saja koq, harta waris bisa bikin kuwalat (kutukan) - dan saudaraku lima semua setuju apa yang diputus oleh ibu, bagiku aneh aku merasa jadi seperti diadu sama ibu sendiri, dianaktirikan dan seperti aku sendiri serakah dan menuntut waris" sambil sruput kopi lagi, aku sela lagi "wah sebenarnya ibumu dan saudara2-mu sangat mulia, aku tidak tau masalah bagi2 waris, mungkin cara seperti sudah benar menurut ibu dan saudara2mu yang lain. terus pendapatmu apa? atau mungkin kamu tidak terima dapat bagian kecil, karena saudara yang lain dapat bagian luas?" agak melotot matanya memandangku "jelaslah akukan harus memikirkan anak-anakku juga. Nih masalahnya menurut penilaianku cara pembagian waris ini pakai ukuran pilih kasih dan siapa yang pintar mengambil hati/menyenangkan ibu itu yang akhirnya dapat bagian luas, kurang tepat" aku sela "ada benarnya juga cara seperti itu, makanya kamu harus patuh, taat, hormat, salahmu tidak bisa seperti saudara2mu itu. Dalam hal inipun (bagi waris) kamu kan sendirian yang tidak sependapat/tidaksetuju yang 5 saudaramu setuju koq, sudah terima saja. susah lho kalau ibu dan saudara2mu sudah antipati sama kamu nolak malah nanti tambah antipatinya. Terus menurut keinginanmu, yang kaya apa" kulihat wajahnya kurang senang dengan apa yang aku katakan. timpal dia "harusnya tinggalan bapakku dibagi yang benar sesuai aturan Agama atau adat, usulku tidak diterima dan ditentang saudara2ku, dan tetap mendukung keputusan ibu yang mutlak benar dan heran dengan kakaku 1, aku kira mau menengahi dalam hal ini wah..malah main2 politik". Dia diam sejenak "Ku akui aku kurang pintar menyenangkan hati seorang ibu dan saudara2ku, kalau diceritakan panjang masalahnya" ambil gelas kopi sruput...tandas. Langsung aku sela "bisa yaa seorang ibu sepertinya pilih kasih dan saudara lain seperti itu, sabar saja...yaa kalu kamu mau ceritakan monggo" aku jadi semakin penasaran......... jeda Sholat Magrib. bersambung.... bagaimana akhirnya saudaraku menerima apa tidak.... Catatan: aku tulis ini atas ijinnya kubuat jadi fiksi, yang ingin berbagi dengan kompasioner mungkin bisa memberikan solusnya.... Dan bila ada kesamanan cerita itu hanya kebetulan belaka Gambar: http://indonesia.faithfreedom.org/doc/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun