Dalam pasal 1 ayat 1 Peraturan Gubernur DI Jakarta Nomor 22 Tahun 2022 disebutkan bahwa:
Rukun Tetangga adalah Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan yang dibentuk melalui Musyawarah Rukun Tetangga setempat dalam rangka pelaksanaan pelayanan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Lurah.
Selanjutnya di dalam pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa:
Musyawarah Rukun Tetangga yang selanjutnya disebut Musyawarah RT adalah kegiatan musyawarah mufakat yang terdiri dari Kepala Keluarga Warga Rukun Tetangga yang tercantum dalam setiap Kartu Keluarga Rukun Tetangga setempat.
Hampir di semua aktivitas RT dan RW, eksistensi musyawarah dalam Peraturan Gubernur DI Jakarta Nomor 22 Tahun 2022 menjadi keniscayaan. Di dalam pasal 4, pembentukan RT dan RW pun dilakukan atas hasil musyawarah. Begitu juga pemecahan dan penggabungan RT/RW seperti yang diatur dalam pasal 6. Selain itu, musyawarah juga menjadi bagian dari hak dan kewajiban warga yang diatur dalam pasal 13 dan pasal 17.Â
Selanjutnya, di dalam pasal 34 pun dirumuskan fungsi dari penyelenggaraan Musyawarah RT, yaitu:
- memusyawarahkan dan menetapkan tata tertib pemilihan Ketua RT;
- menonaktifkan Pengurus RT;
- menyusun tata tertib RT;
- menyusun program kerja dan/atau kegiatan RT;
- membahas masalah keuangan/iuran, keamanan, ketertiban dan kebersihan lingkungan;Â
- mengesahkan pertanggungjawaban Pengurus RT; dan
- membahas Pembentukan, Pemecahan, Penggabungan, atau Penghapusan RT.
Dari semua ketentuan  di dalam Peraturan Gubernur DI Jakarta Nomor 22 Tahun 2022, ketentuan pemilihan Ketua RT di dalam pasal 22 ayat 1 adalah yang paling menarik perhatian saya. Ketentuan tersebut menghilangkan rasa penasaran saya tentang kebijakan musyawarah dalam pemilihan Ketua RT. Ketentuan itu berbunyi:
Pemilihan Ketua RT dilakukan melalui mekanisme musyawarah untuk mencapai mufakat.
Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa mekanisme musyawarah adalah 'opsi' pertama yang harus ditempuh dalam pemilihan Ketua RT. 'Opsi' pemungutan suara baru disarankan dalam hal mekanisme musyawarah sebagaimana dimaksud di atas tidak tercapai, sebagaimana tertuang di dalam pasal 22 ayat 3. Kebijakan untuk mengutamakan musyawarah secara konsisten juga nampak pada pemilihan Ketua RW yang diatur di dalam pasal 24.
Dari hasil penelusuran ini, saya berkesimpulan: alih-alih berharap pada pemerintah memberi ruang untuk warga bermusyawarah dalam pemilihan Ketua RT, Peraturan Gubernur DI Jakarta Nomor 22 Tahun 2022 justru telah memberi ruang seluas-luasnya untuk menerapkan budaya musyawarah dalam pengelolaan RT dan RW seutuhnya.Â
Rasa penasaran saya pun tuntas, namun kini berganti dengan retorika. Jika di level pemerintah terbawah, masyarakat telah diarahkan untuk melalukan musyawarah dalam memilih pemimpinnya. Lantas, bagaimana kedudukan musyawarah dalam pemilihan pemimpin di level yang lebih tinggi?
Kompetisi Para Pemimpin
Seketika, ingatan saya melayang sejenak ke kisah para Khulafaurasyidin. Di era itu pun, Khalifah dipilih bukan dengan pemungutan suara melainkan dengan musyawarah. Kita bisa sama-sama mengakui bagaimana kualitas kepemimpinan yang dihasilkan dari musyawarah tersebut. Selain kondisi pada zaman itu jauh berbeda, tentu sulit menyamakan kualitas manusia di zaman ini dengan para sahabat Rasulullah SAW. Manusia berkualitas-'se-kelas' para sahabat Rasulullah SAW-akan menghasilkan musyawarah yang juga berkualitas. Akan tetapi, sembari berupaya meningkatkan kualitas diri, setidaknya kita bisa mengevaluasi cara pemilihan umum yang berlaku saat ini di negara kita terlebih dahulu.
Kita terjebak pada sempitnya definisi kompetisi dalam demokrasi, sehingga menghabiskan banyak biaya untuk memilih pemimpin ketimbang bermusyawarah untuk memilih pemimpin. Kompetisi hanya dipahami sebatas persaingan para calon pemimpin dalam meraih suara dari masyarakat. Pemilihan umum yang diharapkan menjadi tempat berkompetisi pun berubah menjadi arena kecurangan-tempat terjadinya jual-beli suara.Â