Mohon tunggu...
Sastyo Aji Darmawan
Sastyo Aji Darmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Penyuluh Antikorupsi

Menulis supaya gak lupa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Pemimpin dengan Kemampuan Resiliensi Diri

5 November 2024   16:26 Diperbarui: 5 November 2024   16:46 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemimpin yang dapat menggunakan pengetahuan resiliensi diri untuk mengendalikan situasi penuh stres sehingga dapat bertumbuh ke arah positif. Menurut Pasiak (2021), resiliensi adalah kapasitas dan proses dinamis untuk mengatasi stres dan kesulitan secara adaptif sambil mempertahankan fungsi psikologis dan fisik yang normal.

 Resiliensi adalah sebuah proses dinamis beradaptasi dalam menghadapi kesulitan, trauma, tragedi, ancaman atau sumber stres yang signifikan. Kapasitas ini memungkinkan seseorang untuk bangkit dari kesulitan, ketidakpastian dan kegagalan.

Kemampuan ini sangat dibutuhkan menghadapi dunia dan pelbagai kejadian yang berubah dengan cepat dan cenderung menjadi sumber stres. Resiliesi diri yang baik memungkinkan manusia menghadapi stres dengan lebih baik dan dapat dikendalikan. Kemampuan ini sangat penting bagi seorang pemimpin yang mengelola banyak sumber daya. Strategi mental meningkat resiliensi diri antara lain; peningkatan fleksibilitas kognitif, dan meningkatkan hubungan (connectedness).

Lembaga Administrasi Negara (LAN) merilis modul pelatihan struktural kepemimpinan 'Self Resilience'. Modul ini dapat diakses oleh seluruh masyarakat di laman pembelajaran elektronik asn.futureskills.id. Materi yang diberikan di dalam modul tersebut adalah sebagai berikut.

Stres adalah respon tubuh terhadap tekanan. Sejumlah situasi atau peristiwa kehidupan yang berbeda dapat menyebabkan stres. Stres sering dipicu ketika seseorang mengalami (1) paparan hal yang baru, tidak terduga atau yang mengancam rasa diri, atau (2) ketika seseorang merasa memiliki sedikit kendali atas suatu situasi (https://www.mentalhealth.org.uk/a-to-z/s/stress).

Stres merupakan respon tubuh (fisik, mental, sosial, spiritual) yang tidak spesifik terhadap setiap tuntutan perubahan. Artinya, setiap faktor internal atau eksternal, positif atau negatif, yang mengganggu keseimbangan dapat dianggap sebagai 'stres'. Meskipun stres tidak dapat dihindari, stres tidak sepenuhnya bersifat negatif atau sesuatu yang harus dihindari secara sepihak (https://www.brainfacts.org/diseases-and-disorders/mental-health/2018/what-isstress-resilience-and-can-it-be-learned-071018).

Setidaknya ada 45 jenis stresor yang dapat memengaruhi respon seseorang terhadap stres. Identifikasi terhadap sumber stresor ini akan memudahkan upaya untuk membangun resiliensi. Dikenal sebagai The Holmes-Rahe Stress Inventory (https://www.stress.org/holmes-rahe-stress-inventory-pdf).

Kemampuan seseorang menghadapi kesulitan dapat diukur dengan Adversity Quotient (AQ), secara luas dipahami dalam konsep resiliensi. Resiliensi harus dilihat sebagai proses dan hasil karena kemampuan untuk mengatasi keadaan yang merugikan sebagian merupakan hasil dari pengalaman hidup melalui pengalaman sulit sepanjang hidup. 

Dengan demikian, resiliensi bukanlah konsep yang statis, melainkan terus terakumulasi sepanjang perjalanan hidup Ketahanan dicapai melalui pemanfaatan berbagai sumber daya internal dan eksternal. 

Kemampuan menyesuaikan diri terhadap stresor, kesulitan, trauma, tragedi, ancaman, atau resiliensi dapat dilatih. Untuk melatihnya seseorang harus berfokus pada 4 hal: connection, wellness, healthy thinking, and meaning (https://www.apa.org/topics/resilience).

Pickard dan King (2011) menyebutkan bahwa spiritualitas adalah salah satu faktor yang berperanan penting dalam resiliensi. Spiritualitas penting bagi sebagian besar populasi orang dewasa yang lebih tua dan berfungsi sebagai faktor kunci ketahanan diri (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7743140/). Di antara orang  dewasa yang lebih tua secara khusus, dilaporkan agama memegang kehadiran dan pengaruh terbesar dalam kehidupan sehari-hari daripada populasi usia lainnya.

Sejalan dengan hal tersebut, Lidya Manning menyebutkan bahwa studi Ilmiah menunjukkan bahwa ada hubungan yang kompleks dan dinamis antara spiritualitas dan resiliensi. 

Sebagai aspek resiliensi, spiritualitas menyediakan kerangka kerja yang membimbing individu melalui tantangan hidup, memfasilitasi yang positif dari yang negatif. Sejumlah studi menemukan bahwa partisipan mengalami spiritualitas sebagai sarana atau jalan menuju resiliensi. Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa spiritualitas dan ketahanan 'terkait secara instrumental' dengan memiliki dan mempertahankan kesejahteraan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun