Peran Perbankan Dalam Pembiayaan Proyek Pemerintah
Berdasarkan data dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) per 28 Oktober 2024, total belanja pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJP) instansi pemerintah pada tahun anggaran 2024 adalah sebesar Rp 1.159,7 triliun. Besarnya anggaran PBJP ini diperuntukan bagi kelompok pelaku usaha sebesar 73,8% dan bagi kelompok lainnya sebesar 26,2%. Pada kelompok pelaku usaha, 58% anggaran PBJP diperuntukan bagi Usaha Mikro Kecil dan Koperasi. Pada kelompok lainnya, 26,2% anggaran PBJP diperuntukan bagi paket-paket PBJP yang dilaksanakan secara swakelola oleh instansi pemerintah, organisasi masyarakat dan kelompok masyarakat (LKPP, 2024).
Peran perbankan sangat dibutuhkan dalam mendukung PBJP. Perbankan memainkan peran kunci dalam menunjang perekonomian Indonesia. Melalui penyaluran kredit, perbankan membantu meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, perbankan memainkan peran penting dalam membantu membiayai usaha-usaha kecil dan menengah, yang merupakan sumber daya ekonomi penting bagi Indonesia.Â
Di sisi lain, perbankan juga memainkan peran penting dalam membantu pemerintah membiayai proyek-proyek infrastruktur dan pembangunan ekonomi. Hal ini dilakukan dengan membeli surat berharga negara dan membantu membiayai pemerintah melalui pinjaman. Ini membantu pemerintah membiayai proyek-proyek infrastruktur dan meningkatkan pembangunan ekonomi.
Sayangnya, besarnya anggaran PBJP dan peran serta perbankan untuk membantu pelaku usaha dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan modal usaha belum berdampak siginfikan terhadap perekonomian. Beberapa pengamat perekonomian berpendapat bahwa kondisi ini disebabkan karena Indonesia masih sangat bergantung pada perbankan konvensional.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia ditambah dengan kondisi perekonomian yang tak kunjung meningkat, Tim Perbankan MUI menggagas lahirnya Bank Syariah pertama di Indonesia pada tahun 1991, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Kesuksesan Bank Muamalat Indonesia melewati krisis ekonomi tahun 1998 dan pengakuan Pemerintah melalui peraturan perundangan selaanjutnya menginspirasi tumbuh pesatnya perbankan syariah di Indonesia. Eksistensi perbankan syariah, diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan ekonomi bangsa ini. Selain itu, besarnya anggaran pemerintah dalam PBJP seharusnya dapat didukung secara maksimal dengan pembiayaan syariah.Â
Kontribusi Perbankan Syariah Dalam Perekonomian
Sebagai bagian dari perbankan nasional, perbankan syariah sangat potensial untuk mendukung pembiayaan proyek-proyek pemerintah. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membuktikan dugaan tersebut.
Lehnert (2019) meneliti kinerja perbankan syariah terhadap pertumbuhan ekonomi di 32 negara maju dan berkembang. Temuan menegaskan bahwa, sementara bank syariah dianggap kecil relatif terhadap ukuran total sektor keuangan, bank syariah berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian lain, Chazi et al (2020) menilai pertumbuhan perbankan syariah untuk melihat apakah berdampak pada pertumbuhan industri. Studi tersebut menunjukkan bahwa bank syariah memiliki dampak positif pada pertumbuhan sektor industri, yang pada gilirannya merangsang pertumbuhan ekonomi.Â
Berdasarkan data dari statistik perbankan syariah yang dirilis oleh OJK, kontribusi total pembiayaan perbankan syariah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia mengalami kenaikan pada setiap tahun dari tahun 2011-2019. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi terbesar pembiayaan syariah masih didominasi oleh sektor industri pengolahan nonmigas yang selalu selalu menjadi sektor dengan kontribusi terbesar terhadap PDB. Industri pengolahan misalnya, selama periode 2015-2019 menyumbang pertumbuhan di kisaran 20 persen setiap tahunnya. Pada 2024, rasio kinerja pembiayaan kepada pihak ketiga non bank pada perbankan syariah mencapai 82,5%, meningkat tajam setelah sebelumnya di tahun 2020 mencapai 76,36%. Pada Agustus 2024, pangsa pasar perbankan syariah meningkat menjadi 7,33 persen, dengan pertumbuhan aset mencapai 10,37 persen atau sebesar Rp902,39 triliun.Â