Mohon tunggu...
Sastyo Aji Darmawan
Sastyo Aji Darmawan Mohon Tunggu... Lainnya - ASN; Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Penyuluh Antikorupsi; Negarawaran

Menulis supaya gak lupa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Korupsi dari Honorarium

26 Oktober 2024   11:17 Diperbarui: 26 Oktober 2024   11:27 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Honorarium adalah salah satu sumber pemasukan tambahan yang lazim 'dicari' oleh para Pegawai Negeri Sipil (PNS) di instansi tempat mereka bekerja atau dari instansi lain yang memiliki keterkaitan tugas dan fungsi.

Besaran honorarium diatur dalam Standar Biaya. Untuk instansi pemerintah pusat, Standar Biaya tersebut ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. Sementara, untuk pemerintah daerah, standar biaya diatur oleh kepala daerah masing-masing.

Berbeda dengan gaji dan tunjangan kinerja yang dibayarkan atas jerih payah para PNS atas pelaksanaan tugas dan fungsi utamanya, Honorarium diberikan atas pelaksanaan tugas dan fungsi tambahan atau untuk tugas dan fungsi utama tertentu yang dianggap dapat diberikan tambahan honorarium berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada era di mana tunjangan kinerja belum diberikan kepada PNS, setiap Pimpinan instansi cenderung 'memperbanyak' honorarium demi para PNS-nya bisa lebih sejahtera. Implikasinya, banyak Tim Adhoc dibentuk sebagai pelaksana tugas dan fungsi tambahan yang berhak menerima honorarium tersebut. Karena dilatarbelakangi motif 'bagi-bagi kue'-terkadang-penentuan jumlah dan profil anggota bukan berdasarkan kebutuhan. Maka, akan sering dijumpai jumlah anggota tim yang 'gemuk' tapi hanya sedikit yang benar-benar berkontribusi. 

Bahkan, dapat kita jumpai keberadaan Tim Adhoc yang tidak menghasilkan kinerja apapun bagi organisasi. Laporan pelaksanaan tugas yang disusun sebagai dasar penagihan honorarium tidak lebih hanyalah pengulangan isi laporan dari periode sebelumnya atau rekayasa belaka.

Saat ini, pemerintah pusat telah membatasi pembentukan tim adhoc yang berimplikasi terhadap pemberian honorarium bagi setiap PNS di instansinya. Akan tetapi, pembatasan itu tidak menutup kemungkinan adanya PNS yang hanya 'menumpang' di dalam keputusan pembentukan tim adhoc. Sebab, yang dibatasi hanyalah jumlah maksimal tim adhoc dengan honorarium yang bisa diterima oleh setiap PNS. Sementara, penentuan profil dan jumlah anggota tim adhoc kurang menjadi perhatian. Dengan kata lain, kemungkinan akan selalu ada PNS yang hanya mencari penghasilan tambahan tanpa berkontribusi apapun.

Kondisi ini diperparah dengan fenomena bahwa penerima honorarium 'cuma-cuma' tersebut tidak merasa bersalah dengan perbuatannya. Mereka merasa apa yang mereka terima sudah sesuai dengan ketentuan, yaitu Standar Biaya yang telah ditetapkan pemerintah.

Jika merujuk pada definisi korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Fenomena seperti di atas dapat digolongkan sebagai korupsi. Bayangkan jika fenomena tersebut tidak hanya dilakukan oleh seorang PNS atau hanya terjadi di satu instansi pemerintah. Meskipun total nominal anggaran yang dikeluarkan untuk honorarium tidak sebesar anggaran pemerintah yang dikorupsi oleh koruptor 'kelas kakap', namun sekecil apapun anggaran negara/daerah yang dikeluarkan tanpa pertimbangan efisiensi tidak membuat membuat korupsi jadi halal. 

Sekecil apapun anggaran negara/daerah yang dikeluarkan, seharusnya memiliki efek berganda bagi perekonomian. Oleh karena itu, sekecil apapun anggaran negara/daerah dibuang percuma lewat 'saweran' honorarium tentu akan merugikan negara/perekonomian negara.

Sejalan dengan hal tersebut, kerugian yang timbul bukan hanya pada keuangan/perekonomian negara, namun bangsa ini pun akan mengalami demoralisasi dan semakin permisif terhadap praktik korupsi. Melazimkan praktik bagi-bagi kue untuk PNS dengan modus honorarium tim adhoc akan menyuburkan konflik kepentingan, nepotisme dan political corruption di level para pejabat dan politisi. 

Wajar saja, kalau pemerintahan diisi oleh pejabat-pejabat yang tidak mampu berkontribusi maksimal untuk bangsa dan negara. Bisa jadi, jabatan yang mereka terima hanya hasil pembagian kue yang didasari pertimbangan kesejahteraan mereka pribadi dari para penguasa yang berdalih memikirkan kesejahteraan bawahannya. Seperti yang lazim terjadi di tataran PNS 'kelas teri'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun