Belum habis 'keceriaan' warganet ihwal penobatan gelar Doctor Honoris Causa yang diterima oleh Raffi Ahmad, media massa kembali diramaikan oleh kabar baik tentang kesuksesan Menteri ESDM-Bahlil Lahadalia atas kelulusannya dalam sidang terbuka Doktoral di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia.
Disertasi Bahlil bertajuk Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel Yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia. Sejenak, hasil penelitian ini seolah menjawab harapan masyarakat yang tinggal berdekatan dengan kawasan hilirisasi nikel. Masyarakat yang dirugikan akibat prematur-nya kebijakan hilirisasi tanpa didahului analisis yang tepat.
Dalam sidang terbukanya, Bahlil mengakui bahwa program hilirisasi nikel adalah produk 'tiba saat tiba akal' Presiden Jokowi beserta para Menterinya. Di hadapan para pengujinya, Bahlil pun mengakui bahwa inisiatif hilirisasi nikel hanya bermodal nekat tanpa ada contoh sebelumnya. Aksi nekat itu dilakukan demi mewujudkan mimpi menjadikan Indonesia sebagai negara yang maju karena sumber daya alamnya, dimana hilirisasi (nikel) diposisikan sebagai jalan pintas yang paling menjanjikan untuk mewujudkan mimpi tersebut.
Adalah Prof. Dr. Arif Hidayat, S.P., M.Si. -salah satu penguji- yang turut mempertanyakan solusi atas kerusakan lingkungan yang terlanjur telah terjadi pada kawasan industri hilirisasi nikel, yaitu di kabupaten morowali dan halmahera tengah. Dalam jawabannya, Bahlil mengakui bahwa kerusakan lingkungan di Kabupaten Morowali memang terjadi atas ketidaksempurnaan dalam proses perencanaan. Hal itu disebabkan karena Morowali menjadi pilot project program hilirisasi. Sementara itu, ia meng-klaim kerusakan lingkungan tidak terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah. Menurutnya, program hilirisasi nikel di Halmahera Tengah tidak menimbulkan kerusakan lingkungan karena sudah belajar dari kesalahan di Morowali. Tapi itu menurut Bahlil.
Fakta di lapangan justru menunjukan kondisi sebaliknya. Sejak Agustus 2023, pencemaran sungai di Desa Sagea, Weda Utara, Halmahera Tengah tak terbendung. Bukan hanya itu, aktivitas PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) juga menimbulkan deforestasi dan pencemaran laut. Dari analisis spasial Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menunjukkan, sejak 2013-2023, kawasan hutan di wilayah Lelilef Sawai, Lelilef Woebulen, maupun desa-desa sekitar di Weda Tengah hilang dan menyebabkan tekanan terhadap lingkungan makin besar.
Penggusuran hutan dalam skala besar menyebabkan banjir dan ancaman longsor tak terelakkan. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, sejak Agustus 2020-17 Juni 2024, banjir dengan ketinggian minimal satu meter terjadi lebih dari 12 kali. Buntutnya, sumber air warga tercemar, rumah-rumah warga dan lahan pertanian terendam material lumpur, hingga mencemari pesisir dan perairan laut, serta menewaskan pekerja pada 13 September 2023. Banjir besar sejak 21 Agustus 2024 di lingkar tambang Teluk Weda, merendam tujuh desa, seperti, Desa Lukolamo, Woe Jarana, Woe Kobe, Kulo Jaya, Lelilef, Sagea, dan Trans Waleh. Banjir membuat akses menuju ketujuh desa putus total hingga terisolir.
Abubakar Yasin, Kepala Bidang Penataan dan Kapasitas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Halmahera Tengah-seperti dikutip oleh Mongabay Indonesia, 17 September 2024-mengakui ada persoalan lingkungan muncul dari kehadiran investasi, salah satu paling terlihat adalah produksi sampah. Menurut Abubakar, investasi di Halmahera Tengah tidak bisa ditolak karena izin pemerintah pusat. Pemerintah daerah, katanya, hanya bisa menindaklanjuti keputusan itu dan mencoba terus mengawasi sesuai kewenangan. (Baca: Lingkungan Halmahera Tengah Terus Tergerus Industri Nikel)
Tidak jauh berbeda dengan jawabannya, isi disertasi Bahlil menganggap pencemaran yang terjadi di wilayah sentra hilirisasi nikel utamanya disebabkan oleh terbatasnya kapasitas pemerintah untuk melakukan pengawasan atas persetujuan lingkungan yang dikeluarkannya. Bahlil menyesalkan terjadinya kondisi ini dengan menyebut pemberlakukan UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya sebagai akar permasalahan. Pasalnya, beban tugas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi lebih besar semenjak terbitnya UU Cipta Kerja, sedangkan Dinas Lingkungan Hidup di daerah terkait tidak diberikan kewenangan yang memadai untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan.
Sayangnya, penyesalan Bahlil tidak diikuti dengan rekomendasi perubahan kebijakan. Bahlil hanya terkesan 'melempar' tanggung jawab tersebut ke KLHK. Menurutnya, isu lingkungan di Halmahera Tengah tidak membutuhkan formulasi kebijakan yang baru, melainkan hanya penguatan pengawasan dan penegakan hukum. Padahal, jelas dirinya telah menyinggung UU Cipta Kerja adalah biang keladi dari lemahnya pengawasan dan penegakan hukum tersebut. Maka, seharusnya kebijakan pemerintah terkait dengan pengawasan dan penegakan hukum hilirisasi nikel pun tidak luput dari analisis Bahlil.
Selain kerusakan lingkungan, hilirisasi nikel di Halmahera Tengah juga menuai dampak negatif terhadap keberlangsungan hidup komunitas adat Tobelo Dalam. Hutan sebagai ruang hidup suku tobelo dalam telah hilang tergerus aktivitas pertambangan.
Peneliti dan Advokasi Asia dari Survival International, Callum Rusel, mengatakan ada potensi genosida bagi warga suku Tobelo Dalam atau O' Hongana Manyawa akibat aktivitas tambang. Callum menyebut kegiatan pertambangan akan menyebabkan kehancuran populasi suku O' Hongana Manyawa yang sangat parah. "Tentu ini adalah sebuah pelanggaran terhadap hak hidup warga negara yang disebut indigenous people, yang tidak pernah ditindak sama sekali oleh negara. Bahkan terkesan negara melakukan pembiaran terhadap tindakan yang terjadi secara sistematis tersebut", tukas Callum. (Baca: Nasib Suku Tobelo Dalam Kehilangan Habitat gegara Tambang)
Mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba (AGK) pernah membuat klaim akan melindungi masyarakat Tobelo Dalam, termasuk dari dampak industri. Dia berkata, perlindungan itu akan diberikan dengan menyediakan permukiman dan bantuan pangan. Sayangnya sebelum sempat merealisasikan klaimnya tersebut, ia sudah terjaring OTT KPK. Ia disinyalir turut memperjualbelikan izin tambang di Maluku Utara. Dengan dalih melindungi masyarakat Tobelo Dalam, justru AGK berniat 'cuci tangan' dari dosa yang ia perbuat.
Seandainya rencana cuci tangannya pun berhasil, Suku Tobelo Dalam bukan komunitas yang bisa 'dirumahkan'. Setidaknya sejak tahun 1952 telah muncul kebijakan pemerintah untuk memindahkan orang-orang Tobelo Dalam dari tengah hutan ke permukiman permanen di sejumlah desa. Christopher Duncan, profesor ilmu antropologi di Universitas Rutgers, New Jersey, Amerika Serikat, menulis bahwa terdapat 17 kali upaya memukimkan orang-orang Tobelo Dalam ke rumah-rumah permanen. Seluruh upaya itu, kata Duncan, gagal.
Populasi Suku Tobelo Dalam yang awalnya berkisar 3.000 orang, kini tersisa sekitar 300-500 orang. Hal ini terjadi setelah pemerintah bersama para tokoh agama meminta mereka keluar dari hutan untuk hidup berbaur bersama masyarakat. Saat Suku O' Hongana Manyawa keluar dari hutan dan menetap di wilayah permukiman penduduk, banyak di antara mereka yang menderita sakit hingga meninggal dunia. Imunitas mereka tidak kuat menghadapi wabah penyakit dari luar hutan.
Padahal, jika masih tinggal di dalam hutan, rumah tangga Tobelo Dalam umumnya memiliki pengetahuan tentang pengobatan tradisional yang diperoleh dari orang tua mereka. Perihal ini dapat terlihat sewaktu ada warga yang sakit, mereka tidak pernah berobat ke puskesmas.
Orang-orang Tobelo Dalam juga disebut membatasi diri untuk tidak memanfaatkan tanaman hutan secara berlebihan. Cara hidup lain yang selaras dengan keseimbangan hutan, menurut para peneliti adalah larangan untuk merusak hutan. Tradisi ini berbentuk larangan kepada orang dari luar Tobelo Dalam untuk masuk ke hutan mereka. Alasannya, hutan bukan hanya penyedia sumber pangan, tapi juga tempat ritual untuk menghormati leluhur yang telah meninggal.
Tiga akademisi dari Universitas Pattimura dan Universitas Hein Namotemo Tobelo, yakni Bayau Edom, Agustinus Kastanya, dan Piter Palupessy menyebut orang Tobelo Dalam memiliki pengetahuan yang tinggi terkait hutan yang mereka tinggali. Tiga peneliti ini menyimpulkan bahwa komunitas Tobelo Dalam memperlakukan tumbuhan sebagaimana halnya manusia, “memiliki jiwa dalam arti bahwa tumbuhan juga berhak untuk hidup”. Konsekuensi dari konsep itu, kata mereka, orang Tobelo Dalam “harus memanfaatkan hutan secara bijaksana”. (Baca: Masyarakat adat O’hangana Manyawa di Halmahera terjepit industri nikel, citra primitif, dan dugaan kriminalisasi)
Mungkin definisi berkeadilan dan berkelanjutan versi Bahlil berbeda dengan kearifan yang dianut suku Tobelo Dalam. Jelas suku Tobelo Dalam tidak punya tekanan dari pihak manapun untuk mempertahankan idealismenya, namun terlalu berisiko untuk menyebut idealisme Bahlil bermasalah. Yang jelas, pemerintah melalui disertasi Bahlil mencoba menunjukan 'niat baiknya' untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang telah terjadi di sentra hilirisasi nikel. Akan tetapi, niat baik itu masih perlu disempurnakan dengan sumbangan pemikiran dari para cendekiawan lain. Mungkin di kesempatan berikutnya, cendekiawan lain itu dapat menyumbangkan rekomendasi kebijakan untuk pengelolaan sumber daya alam Indonesia yang berkeadilan dan berkelanjutan tanpa harus bernafsu mendapat gelar Doktor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H