Mohon tunggu...
Sastyo Aji Darmawan
Sastyo Aji Darmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Penyuluh Antikorupsi

Menulis supaya gak lupa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seni Bergaul dengan Koruptor

23 September 2024   09:07 Diperbarui: 23 September 2024   09:07 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masifnya praktik koruptif di berbagai tempat, menihilkan kemungkinan siapa pun untuk tidak bergaul dengan para pelakunya. Bagi yang alergi terhadap korupsi, tentu tidak nyaman berada dalam kekerabatan semisal itu. Tidak jarang, mereka terjebak pada syndrome 'gak enakan'. Galau memilih untuk mempertahankan idealisme atau terus menjaga hubungan baik dengan mengikuti arus.

Di dunia kerja, kondisi ini berpotensi memancing reaksi yang beragam. Ada yang lebih memilih berhenti dan keluar dari lingkungan kerja yang tidak kondusif. Tapi juga tidak sedikit yang tetap bertahan.

Mereka yang memutuskan untuk pergi punya berbagai alasan. Ada yang sudah tidak kuat menerima tekanan, tidak mau terjerumus dalam dosa, ataupun apatis.

Mereka yang bertahan tentu juga punya berbagai alasan untuk tidak pergi mencari pekerjaan lain. Mulai dari sulitnya mencari pekerjaan pengganti sampai ke alasan yang paling heroik, yaitu merasa diri ditakdirkan untuk menjadi agen perubahan di lingkungan yang tidak kondusif tersebut.

Setiap alasan bertahan itu akan menentukan bentuk reaksi terhadap tawaran, perintah atau tekanan yang diterima. Setidaknya, ada tiga golongan orang yang bertahan di dalam lingkungan kerja yang koruptif berdasarkan reaksinya.

Golongan pertama adalah orang dengan alasan ketergantungan terhadap gaji di tempat kerjanya. Mereka biasanya punya masalah finansial yang cukup serius. Akibatnya, mereka cenderung permisif dengan praktik koruptif yang sudah membudaya. Mereka seolah tidak punya pilihan, selain menjadi bagian dalam tindakan yang bertentangan dengan kata hati dan tidak mampu menunjukan bentuk penolakan apapun. Mau bersuara tapi takut dipecat. Kalau sudah dipecat, kemungkinan besar sulit mencari pekerjaan lain. Akhirnya mereka hanya bisa mengutuk di dalam hati. Mereka ini-lah yang disebut sebagai golongan yang mengingkari kemungkaran hanya di dalam hati.

Golongan kedua adalah orang yang sangat menyesalkan terjadinya korupsi terjadi di lingkungan sekitarnya. Penyesalan itu terjadi setelah sebelumnya mereka sempat bicara dan berupaya mencegah rekan sejawatnya untuk terjerumus atau mengulang praktik koruptif tersebut. Mereka bertahan berada di lingkungan itu bukan karena ketergantungannya terhadap gaji, tetapi mereka punya keyakinan yang sangat kuat dan pantang menyerah untuk bisa mengubah situasi meskipun seringkali suaranya tidak didengar serta berisiko dimutasi atau bahkan dipecat dari tempat kerjanya. Mereka menggolongkan dirinya sebagai orang yang melawan dengan lisan. 

Golongan ketiga adalah orang yang bertahan karena merasa punya kemampuan untuk mengubah keadaan, bukan hanya dengan kekuatan verbal-nya, tetapi juga dengan 'tangannya' sendiri. Yang termasuk dalam golongan ini adalah para pemimpin organisasi atau orang yang paling berpengaruh di lingkungannya.

Lantas, kita termasuk golongan yang mana? Tidak semua dari kita memiliki kesempatan untuk jadi pemimpin di sebuah organisasi atau memiliki bakat untuk menjadi orang yang bisa mempengaruhi orang lain. Maka, probabilitas paling besar yang bisa terjadi adalah kita termasuk di golongan yang pertama atau kedua.

Jika termasuk di golongan yang pertama, kita harus berupaya untuk berpindah ke golongan kedua. Caranya adalah dengan menguatkan keyakinan bahwa gaji hanyalah satu dari banyaknya kasih sayang yang Tuhan berikan agar kita bisa hidup dan menghidupi orang-orang yang kita cintai. Bekerjalah dengan tujuan menafkahi diri dan keluarga, namun jangan mempersempit definisi nafkah hanya bersumber dari gaji. Ingat! Tuhan itu maha mematikan sekaligus juga maha menghidupkan.

Golongan kedua adalah golongan paling ideal untuk kita berada. Selain karena landasan keyakinan kita terhadap rezeki sudah benar, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran adalah alasan paling sakral yang harus diimplementasikan. Sebagai umat yang meyakini adanya balasan atas amal baik, tentu kita tidak mau menjadi entitas yang merugi akibat tidak menjalankan kewajiban itu. 

Jika kita sudah paripurna berada dalam golongan kedua, bukan tidak mungkin Tuhan memberikan kesempatan untuk masuk ke dalam golongan yang ketiga. Sebab, dengan konsisten memberi peringatan dan contoh yang baik, sedikit demi sedikit akan muncul orang-orang yang terinspirasi dan orang-orang tersebut yang nantinya akan menempatkan kita sebagai pemimpin atau sosok yang sangat berpengaruh di dalam hidup mereka.

Menjadi pihak yang 'melawan dengan lisan' bukan berarti memusuhi semua orang yang masih tersesat. Tugas kita hanya terus-menerus menyampaikan nasihat. Petunjuk dan penyadaran tetap menjadi hak prerogratif Tuhan. 

Meskipun yang kita sampaikan hari ini adalah sebuah kebenaran, tidak pantas bagi siapapun untuk merasa dirinya paling benar. Ini hanya masalah keyakinan. Semua orang punya standar kebenarannya masing-masing. Bisa jadi kita hanya berada di tingkat keyakinan tentang kebenaran yang berbeda dengan mereka, namun kita masih berada pada tujuan yang sama dan butuh waktu untuk mereka untuk menyusul langkah kita dan pada akhirnya bisa berjalan berdampingan dengan kita.

Menjadi pihak yang 'melawan dengan lisan' juga bukan sekedar bicara saja namun tidak 'mengadu' ketika bukti-bukti kejahatan sudah ada di depan mata. Atas nama keadilan, memberi informasi kepada pihak yang berwenang untuk menindak para koruptor juga bagian dari mencegah terjadinya kerusakan yang lebih mematikan.

Bergaul dengan siapapun ada seninya. Terlebih koruptor itu bisa siapa saja. Bisa orang terdekat, keluarga, orang yang paling kita cintai atau orang yang paling kita hormati. Dengan siapapun kita berhadapan, kesantunan mutlak diperlukan.

Kesantunan adalah cara bicara yang lemah lembut namun penuh ketegasan. Kesantunan adalah wujud pemahaman terhadap kewajiban kita sebagai sesama mahluk yang berjuang untuk mendapatkan balasan terbaik dari Tuhan. Kesantunan adalah seni 'mengadili' koruptor dengan indah. Maka, pergaulilah siapapun dengan indah. Mereka punya hak untuk menerima nasihat-nasihat dari kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun