Masifnya praktik koruptif di berbagai tempat, menihilkan kemungkinan siapa pun untuk tidak bergaul dengan para pelakunya. Bagi yang alergi terhadap korupsi, tentu tidak nyaman berada dalam kekerabatan semisal itu. Tidak jarang, mereka terjebak pada syndrome 'gak enakan'. Galau memilih untuk mempertahankan idealisme atau terus menjaga hubungan baik dengan mengikuti arus.
Di dunia kerja, kondisi ini berpotensi memancing reaksi yang beragam. Ada yang lebih memilih berhenti dan keluar dari lingkungan kerja yang tidak kondusif. Tapi juga tidak sedikit yang tetap bertahan.
Mereka yang memutuskan untuk pergi punya berbagai alasan. Ada yang sudah tidak kuat menerima tekanan, tidak mau terjerumus dalam dosa, ataupun apatis.
Mereka yang bertahan tentu juga punya berbagai alasan untuk tidak pergi mencari pekerjaan lain. Mulai dari sulitnya mencari pekerjaan pengganti sampai ke alasan yang paling heroik, yaitu merasa diri ditakdirkan untuk menjadi agen perubahan di lingkungan yang tidak kondusif tersebut.
Setiap alasan bertahan itu akan menentukan bentuk reaksi terhadap tawaran, perintah atau tekanan yang diterima. Setidaknya, ada tiga golongan orang yang bertahan di dalam lingkungan kerja yang koruptif berdasarkan reaksinya.
Golongan pertama adalah orang dengan alasan ketergantungan terhadap gaji di tempat kerjanya. Mereka biasanya punya masalah finansial yang cukup serius. Akibatnya, mereka cenderung permisif dengan praktik koruptif yang sudah membudaya. Mereka seolah tidak punya pilihan, selain menjadi bagian dalam tindakan yang bertentangan dengan kata hati dan tidak mampu menunjukan bentuk penolakan apapun. Mau bersuara tapi takut dipecat. Kalau sudah dipecat, kemungkinan besar sulit mencari pekerjaan lain. Akhirnya mereka hanya bisa mengutuk di dalam hati. Mereka ini-lah yang disebut sebagai golongan yang mengingkari kemungkaran hanya di dalam hati.
Golongan kedua adalah orang yang sangat menyesalkan terjadinya korupsi terjadi di lingkungan sekitarnya. Penyesalan itu terjadi setelah sebelumnya mereka sempat bicara dan berupaya mencegah rekan sejawatnya untuk terjerumus atau mengulang praktik koruptif tersebut. Mereka bertahan berada di lingkungan itu bukan karena ketergantungannya terhadap gaji, tetapi mereka punya keyakinan yang sangat kuat dan pantang menyerah untuk bisa mengubah situasi meskipun seringkali suaranya tidak didengar serta berisiko dimutasi atau bahkan dipecat dari tempat kerjanya. Mereka menggolongkan dirinya sebagai orang yang melawan dengan lisan.Â
Golongan ketiga adalah orang yang bertahan karena merasa punya kemampuan untuk mengubah keadaan, bukan hanya dengan kekuatan verbal-nya, tetapi juga dengan 'tangannya' sendiri. Yang termasuk dalam golongan ini adalah para pemimpin organisasi atau orang yang paling berpengaruh di lingkungannya.
Lantas, kita termasuk golongan yang mana? Tidak semua dari kita memiliki kesempatan untuk jadi pemimpin di sebuah organisasi atau memiliki bakat untuk menjadi orang yang bisa mempengaruhi orang lain. Maka, probabilitas paling besar yang bisa terjadi adalah kita termasuk di golongan yang pertama atau kedua.
Jika termasuk di golongan yang pertama, kita harus berupaya untuk berpindah ke golongan kedua. Caranya adalah dengan menguatkan keyakinan bahwa gaji hanyalah satu dari banyaknya kasih sayang yang Tuhan berikan agar kita bisa hidup dan menghidupi orang-orang yang kita cintai. Bekerjalah dengan tujuan menafkahi diri dan keluarga, namun jangan mempersempit definisi nafkah hanya bersumber dari gaji. Ingat! Tuhan itu maha mematikan sekaligus juga maha menghidupkan.