Pelajaran Dari Konflik Gajah dan Manusia
Chicco Jerikho merilis seri perdana film dokumenter bertajuk Berbagi Ruang. Film ini menjadi perlambang atas aksi positif untuk menyuarakan bahwa satwa liar memiliki hak dan ruang hidup berdampingan manusia tanpa terjadi konflik.
Chicco mengawali kampanye Berbagi Ruang lantaran hatinya merasa terusik atas interaksi negatif (konflik) gajah dan manusia yang semakin marak. Selama kurun waktu 10 tahun ke belakang, konflik manusia dan gajah terus meningkat. Berdasarkan catatan Litbang Kompas, selama periode 2019 - 2023 telah terjadi 787 konflik antara satwa liar dengan manusia. Dalam catatan ini, sebanyak 583 perkara melibatkan Gajah Sumatera. Pemicunya beragam, mulai dari alih fungsi lahan dalam koridor satwa, pembalakan liar, hingga pengelolaan kawasan budidaya yang tidak sesuai (seperti tumpang tindih antara habitat gajah dengan kebun masyarakat). Pada akhirnya, peristiwa negatif ini menelan korban kedua belah pihak, entah itu gajah maupun manusia itu sendiri.
Dari konflik gajah dan manusia kita bisa mengambil pelajaran yang sangat penting. Pelajaran yang seharusnya mampu membawa manusia ke titik muhasabah terdalam, agar kita segera menyadari betapa arogannya kita selama ini. Atas nama kesempurnaan akal dan kemampuan untuk berinovasi, tanpa sadar kita sudah menghalalkan ekspansi di tanah yang kita anggap 'tak berpenghuni'. Padahal Tuhan menciptakan alam ini untuk dihuni oleh seluruh mahluknya. Maka, sudah sewajarnya kita berbagi ruang dengan semua mahluk Tuhan. Terlebih, manusia hanyalah mahluk yang 'datang belakangan'.
Sebagai kaum pendatang, sudah sewajarnya pula kita yang harus beradaptasi dengan para pendahulu-penghuni alam lainnya. Keharusan itu juga muncul karena hanya manusia satu-satunya mahluk yang dikaruniai akal oleh Tuhan. Tidak mungkin bagi mahluk lain untuk menemukan solusi seperti berbagi ruang, sebab mereka tak dikehendaki Tuhan untuk memiliki kemampuan berpikir sejauh itu.
Beberapa dari kita mungkin berpikir, tidak semua manusia mengalami konflik dengan satwa liar, contohnya gajah. Sebab, tidak semua dari kita tinggal di kawasan pedesaan atau pedalaman. Akibatnya, kita yang tidak berkonflik secara langsung ini hanya bisa mengamati, merenungkan, atau turut memberikan edukasi seperti yang Chicco Jerikho dkk. lakukan. Padahal, kita punya peran lebih dari itu. Kita bisa menerapkan konsep berbagi ruang dengan mahluk Tuhan lainnya yang juga tinggal di perkotaan.Â
Penerapan konsep berbagi ruang tersebut telah diakomodir dalam Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Di dalam UU tersebut diatur bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah kota harus minimal 30 persen dari luas wilayah kota. 30 persen tersebut terdiri dari 20% RTH Publik dan 10% RTH Privat. RTH inilah yang dapat dimanfaatkan untuk menerapkan konsep berbagi ruang dengan satwa liar yang ada di perkotaan. Salah satu satwa liar di perkotaan yang perlu menjadi objek berbagi ruang tersebut adalah Kucing Rumahan.Â
Berbagi Ruang Dengan Kucing Rumahan
Populasi Kucing Rumahan yang meningkat pesat sudah lama menjadi bahan perbincangan. Tercatat ada sebanyak 2,8 juta populasi kucing di Indonesia menurut Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perairan Provinsi DKI Jakarta pada 2021. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi sebagian penduduk perkotaan. Populasi yang tidak terkontrol berisiko pada penularan penyakit baik kepada manusia ataupun hewannya sendiri.Â
Untuk menekan pesatnya pertumbuhan Kucing Rumahan, para pakar telah menyarankan solusi sterilisasi. Akan tetapi, solusi ini hanya efektif untuk Kucing Rumahan yang dipelihara atau dibawa secara sukarela oleh masyarakat untuk disterilisasi. Sementara, jumlah Kucing Rumahan yang belum disterilisasi di perkotaan masih banyak. Akibatnya, kekhawatiran masyarakat perkotaan terhadap kotoran Kucing Rumahan juga masih mengemuka. Tidak jarang kekhawatiran itu mendorong reaksi yang berlebihan. Kasus kematian sejumlah Kucing Rumahan yang mati bersamaan diduga diracun di salah satu perumahan Kota Malang pada tahun 2022 adalah salah satunya.Â