Reaksi masyarakat perkotaan yang berlebihan ini melambangkan arogansi kita sebagai manusia. Seolah kita adalah mahluk yang paling berhak hidup di alam ini. Konflik Kucing Rumahan dan manusia seharusnya menjadi refleksi tingkat kepedulian kita terhadap satwa liar yang hidup bebas atas kehendak Tuhan di alam ini.Â
Ya. Eksistensi Kucing Rumahan di daerah mana pun tidak lepas dari kehendak Tuhan. Barangkali, memang ada hak Kucing Rumahan dari makanan kita, yang tidak lain adalah pemberian Tuhan. Barangkali, ada hak Kucing Rumahan untuk buang air di sebagian halaman rumah kita, yang tidak lain adalah milik Tuhan. Sekali lagi, pemikiran itu seharusnya kita miliki karena tidak mungkin Kucing Rumahan yang memilikinya. Karena mereka tidak ditugaskan oleh Tuhan untuk menjadi khalifah di muka bumi.
Berbekal pemahaman tersebut, kita bisa mengupayakan solusi yang lebih 'manusiawi' ketimbang mencabut hak hewani Kucing Rumahan melalui jalan sterilisasi. Meskipun, solusi sterilisasi itu sendiri terkesan hampir mirip dengan program keluarga berencana yang sudah diterapkan lebih dulu oleh manusia. Alih-alih menekan populasi Kucing Rumahan, mungkin kita menggunakan fasilitas lain yang belum dimanfaatkan secara maksimal untuk berbagi ruang dengan mereka, yaitu RTH.
Salah satu fungsi RTH adalah sebagai penyedia habitat satwa. Fungsi ini seharusnya diterjemahkan oleh pengelola RTH, khususnya RTH publik untuk mendesain RTH yang ramah satwa - salah satunya Kucing Rumahan agar dapat menjadi 'rumah' yang layak bagi mereka, namun tetap tidak mengganggu manusia sebagai mahluk lain yang juga punya ketergantungan terhadap RTH. Dengan desain dan pengelolaan yang tepat, secara otomatis masyarakat perkotaan mendapatkan edukasi tentang pentingnya berbagi ruang dengan satwa yang ada di sekelilingnya dan mempertanggung jawabkan kemampuan akal sehatnya di hadapan Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H