Mohon tunggu...
Sastyo Aji Darmawan
Sastyo Aji Darmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Penyuluh Antikorupsi

Menulis supaya gak lupa

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Pemimpin Yang Sederhana Itu Bernama Aidir

12 September 2024   10:02 Diperbarui: 12 September 2024   10:05 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kalau hari ini matahari masih bisa bersinar meskipun tanpa kehadiran kita di ruangan ini, berarti kita bukan orang penting”.

Kalimat tersebut bukan untaian kata yang layak dijadikan motivasi. Pembicaranya pun tidak terlalu populer. Dia hanya pensiunan pegawai negeri biasa. Akan tetapi, bagi saya, beliau adalah sosok yang cukup menginspirasi berkat gaya kepemimpinan dan kesederhanaannya. Kesederhanaan yang kelak membuat saya terkagum-kagum.

Nama beliau adalah Aidir Amin Daud.  Beliau adalah guru besar dan pengajar di bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanudin sejak 1987. Lahir di Makassar-20 November 1958. Sempat aktif sebagai reporter hingga menjadi Kepala Redaksi Harian Fajar (1980-2003). Aidir sempat menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum Sulawesi Selatan (2003-2006). Karirnya berlanjut menjadi Direktur Tata Negara Kemenkumham RI (2007-2009). Tahun 2010, Aidir diangkat menjadi Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU). Lima tahun sesudahnya Aidir menjadi Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia selama setahun sebelum diangkat menjadi Inspektur Jenderal (Irjen) Kemenkumham. Selama menjadi Irjen Aidir sempat menjadi pelaksana tugas Dirjen AHU (2015) dan Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual. Tahun 2019 Aidir menjadi Staf Khusus Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Beliau juga pernah menjadi Anggota Majelis Pengawas Pusat Notaris selama 2 periode dan sampai saat ini menjadi anggota Komisi Banding Merk Kemenkumham RI. 

Aidir memang bukan satu-satunya tokoh teladan di negeri ini. Akan tetapi, sesempit pengamatan saya, belum ada satu pun pemimpin yang berhasil menandingi kesederhanaannya. Seandainya ada, saya berharap tulisan ini mewakili pesan yang disampaikan para pemimpin itu. Bahwa tingginya jabatan tidak akan bernilai tanpa dibarengi kepribadian membumi.

Kutipan di awal tulisan ini adalah cerminan kesederhanaan beliau. Kalimat tersebut diucapkan saat beliau memberi pengarahan di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU). Saat itu, pertengahan tahun 2019, Ditjen AHU tengah berjuang meraih predikat Wilayah Bebas Korupsi. Sebagai Irjen, beliau berperan memberi arahan kepada setiap satuan kerja yang tengah memperjuangkan pencapaian serupa.

Kritik atas Arogansi 

Kalimat di awal tulisan ini menyiratkan kritik Aidir terhadap arogansi rekan-rekannya sesama pejabat publik. Arogansi yang membuat mereka merasa harus hadir di setiap perjalanan dinas. Arogansi yang mendorong mereka melanggar aturan lalu lintas demi cepat sampai tujuan. Bahkan arogansi yang melazimkan mereka meminta pengawalan, fasilitas dan perlakuan eksklusif. 

Sayangnya, hal-hal tersebut justru kita anggap biasa. Tingginya jabatan seolah menjadi sebab halalnya seseorang mendapatkan perlakuan istimewa.  Kesederhanaan belum menjadi syarat utama mengisi jabatan publik. Padahal, salah satu faktor pembentuk integritas adalah kesederhanaan (ACLC KPK, 2022). Kesederhanaanlah yang mampu melawan rasa tamak, pemborosan, dan inefisiensi penggunaan keuangan negara.

Meski Aidir telah menutup masa baktinya di tahun 2019, saya beranggapan, apa yang Aidir sampaikan tersebut perlu digandakan efek penyebarannya. Selain itu, perlunya kesaksian yang dapat mengonfirmasi konsistensi ucapan dengan perilakunya sehari-hari. Berbekal keyakinan itu, saya berburu saksi mata kesederhanaan Aidir. Dari narasumber yang berhasil ditemui, saya mendapatkan beberapa cerita. 

Rumah Dinas dan Transportasi Publik

Aidir Amin Daud adalah salah satu Pimpinan Tinggi Pratama yang rela tinggal di rumah dinas  Gunung Sindur, perumahan pegawai Kemenkumham yang kurang diminati. Jauhnya jarak, biaya transportasi yang tinggi dan fasilitas publik yang belum memadai menjadi alasan perumahan dinas tersebut sepi penghuni. Akan tetapi, hal itu bukan halangan bagi Aidir. Beliau tinggal di sana sejak 2008 sampai dengan 2010 - selama menjabat sebagai Direktur Tata Negara dan beberapa saat setelah diangkat menjadi Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum. Kalau saja tidak diberi rumah dinas Pimpinan Tinggi Madya di daerah Lebak Bulus, tentu beliau masih tinggal di sana sampai akhir masa tugasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun