Aku kaget dan menjawab dengan nada datar, "Pagi juga, Pak."
Aldhy terus berjalan menuju ruang pertemuan. Aku berharap dia datang dan peduli denganku. Tepukan dan sapaannya terasa asing bagiku. Aku sudah menduga dia akan bersikap demikian. Relasi di antara kami tidak semulus dulu lagi. Selepas komunikasi dengannya beberapa bulan lalu, aku berpikir mungkin jarak yang membuatnya tak peduli padaku.
Semuanya sungguh berbeda. Dia tidak mengerti dengan apa yang kurasakan sekarang. Ketidakpeduliannya terus berlanjut. Aku dianggapnya seperti kebanyakan rekan kerjaku. Cinta yang kami bangun selama ini hilang tak meninggalkan jejak.
Hatiku sangat terpukul. Pertemuan bersama member perusahaan tak ada artinya bagiku. Dia yang menjadi sumber sukacitaku tidak lagi memerhatikanku. Aku sebenarnya tidak ingin jatuh dalam kesedihan yang begitu mendalam. Namun, sikap tak pedulinyalah yang membuatku merasa sakit. Aku berusaha tegar meski ada beban yang begitu besar menimpa diri ini.
Pertemuan berjalan lancar. Rangkaian acara dilewati dengan baik. Semua member merasa bangga bergabung dengan perusahaan obat ternama yang sudah tersebar di beberapa negara ini.
"Kanaya, aku bangga padamu. Tidak sia-sia pemimpin memilihmu menjadi ketua dalam pertemuan kali ini. Aku bangga padamu," ungkap Aldhy sambil melempar senyum.
"Makasih, Kak. Semua juga berkat dukungan teman-teman," balasku.
"Sekarang waktunya foto bersama semua panitia. Teman-teman bekerja dengan baik. Mari kita abadikan momen ini," kata pembawa acara.
Aku bergabung bersama rekan-rekan kerjaku. Sesi foto bersama berjalan dengan baik. Bersama rekan-rekan kerja kami membereskan ruangan pertemuan.
Waktu menunjukan pukul 20.00. Langit Kota Kupang sangat cerah di malam hari.
"Sampai jumpa ya, Kanaya. Apakah ada yang datang menjemput?" tanya seorang rekanku.