Bintang itu indah di langit gelap malam ini. Terang seorang diri. Di balik jendela kamar aku terbelalak dalam tetesan airmata. Entahlah karena apa dan kuharap bukan karena siapa. Sesekali ayam berkokok. Dia tak tahu waktu masih menyentuh angka 23.00. Dia seolah menawar diri tuk jadi penghibur bagiku.
Pesan WhatsApp yang kukirim padanya tenggelam bersama kokok sang jago. Aku tak tahu apa yang terjadi. Profil WhatsApp-nya berubah menjadi putih.
"Blokir?" ungkapku dalam hati.
Aku berusaha menahan tangis. Sudah seringkali aku mengalami hal yang sama.
"Untuk apa menangis jika itu sudah menjadi kebiasaannya," aku menguatkan diri.
Aku selalu menuruti setiap keinginannya. Disakiti olehnya pun aku tetap bertahan. Aku tahu mata hatiku buta ketika melihat tingkahnya. Dia selalu benar meski salah. Aku tak tahu apa yang merasuki diri ini. Kegelisahan batinku menerobos pertahanan manusiawiku.
Terlelap dalam khayal, aku dikagetkan bunyi pesan masuk. Dengan cekatan kuraih handphone di balik kain panasku.
Aku kesal saat pesan itu bukan darinya, "Sial, mengapa bukan dari dia?"
Di balik rasa sedih, aku merasa dikuatkan. Pemilik pesan yang masuk ke handphone-ku memberi sedikit angin segar. Pesan darinya menarikku kepada terang yang memberi kedamaian dan kehangatan.
"Mengapa setiap kegelisahan itu datang dia selalu mengirim pesan untukku?" ungkapku sebelum membuka pesan.
"Malam. Apa kabar? Sudah makankah? Kenyang?" aku hanya membaca pesan darinya.