Mohon tunggu...
Sastrokechu
Sastrokechu Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh Laju// Penyintas Kehidupan Urban// Peminat Program Swanirwana

#Tan Hana Dharma Mangrwa #Yungalaaahhh Gusti, menawi kulo salah dalan jenengan shareloc mawon

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tandur Salah Mangsa; Mendedah Politik Hukum Penjara dari Kacamata Spiritualitas Jawa

23 Agustus 2023   22:47 Diperbarui: 6 September 2023   19:41 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memang betul, istiqomah adalah suatu ritual yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang pilihan. Janji saya "mendisiplinkan diri" untuk beropini pada hari-hari tertentu ternyata harus batal. Tahun ini saya melewatkan momen penting di bulan April tanpa menulis apapun. Biasanya ada selorohan nakal sebagaimana tangkapan pandang saya tentang otoritas penjara dan seputarnya yang kemudian saya tuangkan dan bagikan dalam bentuk narasi ndeso dan ala kadarnya.
Sebetulnya kalau diminta untuk memberikan alasan, saya memiliki berbagai macam kesibukan yang siap menjadi bahan baku dalam merancang-bangun sebuah gedung alasan pencakar langit. Saya pastikan di dalam gedung tersebut terdapat ruang-ruang mengelak rumit nan menyesatkan. Siapapun tentu akan dibuat terkulai pasrah jika harus berputar-putar dalam labirin panjang jahanam itu tanpa penghabisan. Uaasuuuwookkk

Akhirnya, pada kesempatan yang sedikit dipaksakan ini saya memilik tekad untuk menyelesaikan sebuah kelakar yang sebetulnya sudah lama saya mulai (namun tidak pernah menemukan babak akhir yang tepat).  Kesempatan kali ini saya ingin menyuguhkan sesuatu yang tidak seperti biasa, pembahasan yang menurut saya akan sangat segmented, kental dengan balutan budaya jawa. Akan banyak yang tidak tertaut dengan cerita atau bahkan memahami kondisi ini, pun bagi orang jawa sendiri. Ini juga yang sebetulnya mempengaruhi saya untuk lanjut atau tidak menyelesaikan materi ini.
Tapi mungkin saya akan melabeli tulisan kali ini dengan tagar "#tidakpeduli." Sikap yang dengan sadar saya ambil untuk menunjukan bahwa tulisan ini tidak terikat sama sekali pada upaya yang tersistematika, analisis yang tajam, ataupun dengan rekomendasi yang mutakhir sebagaimana dilakukan oleh para cendekia. Tetap, tulisan ini hanya sebuah ekspresi dan tidak perlu dianggap sebagai rujukan atau statement policy, bahkan ini lebih dekat dengan apa yang dinamakan obrolan warung kopi. Jelas saja sumber dan rujukannya buram dan sulit dipertanggung jawabkan. "wong yo gur guyonan to rii...riii..."

Jumat petang beberapa pekan lalu saya seperti disengat sesuatu. Seketika itu pula segala macam pandangan dan pemikiran yang telah membuncah ingin begitu saja keluar dari liang perenungan. Sengatan itu tak lain adalah wejangan dari seorang "empu"  yang dahulu (sebisa mungkin) selalu saya sambangi. Saya adalah pemungut hikmah dari dialektika beliau dengan api ketika menempa tosan aji. Ceceran kebijaksanaannya berserakan, hingga sangat mudah dan tak perlu usaha untuk menemukannya. Tetapi akhir-akhir ini kesempatan seperti itu jarang saya dapati. Lama tidak terdengar suara tapak palu yang beradu menempa materi tosan aji. Tak lagi berkerendap percikan bunga api dengan latunya yang berterbangan memenuhi ruang udara.
"Sang empu telah kehilangan api," tebak saya dalam hati. Sependek akal saya, Api yang kini beliau gunakan sebagai segel pengaman penjara di bukit buitenzorg, adalah sebuah anti-thesa yang panas, mengelisahkan, dan ngeyelan dalam mengupas berbagai piwulang sang empu. Api dengan sedemikian rupa mampu membuat kontras hikmah dari hijab yang menyelaputinya, dan beruntunglah kami yang ada disekitarnya.

Ternyata itu salah besar, belum bisa disebut empu kalau masih memiliki keterbatasan dan hanya bergantung pada sebuah sumber energi. Tanpa api, air yg tenang pun ternyata mampu diolah untuk menyediakan panas dari energi prana-nya. Dan ini setiap saat bisa digunakan untuk menyepuh tosan aji yang tak kalah hebatnya.
Pernah anda mendengar bagaimana keampuhan tosan aji yang memiliki pamor "banyu mili?" Konon tosan aji jenis ini dengan kesederhanaannya itu justru mampu merefleksikan pancaran energi joyo-kawijayan sang empu dengan sempurna tanpa tedheng aling-aling.
Begitu memang, seorang empu mampu memanfaatkan segala unsur api, air, udara, bahkan tanah sekalipun untuk menjadi sumber energi. Seorang empu juga tidak akan kurang akal untuk menemukan bahan-bahan yang akan ditempa, bahkan sebuah batu meteorit saja bisa dibentuk menjadi sebuah bilah gagah dengan lekuk luk-nya yang indah.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa tidak ada aktifitas yang berarti dari sang empu pada akhir-akhir ini. Situasi ini mengganggu batin dan pikiran saya. Dalam hati saya berkata, tak mungkin seorang empu memutuskan lengser keprabon layaknya kesatria. Pekerjaan yang dia lakukan adalah pekerjaan transendental dan diujungnya hanyalah moksa. Tidak ada kata mundur, hanya hancur dan melebur.
Kegelisahan yang coba saya redam ini saya rasakan seperti kerikil didalam sepatu, kecil tapi benar-benar merisihkan. 

Dan semalam saya baru mendengar penjelasannya. 

Hlaadalaaahh...ini sebuah tingkatan lain yang mungkin saya baru diijinkan untuk terbelalak pada kawisesannya sebelum kembali memungut remah-remah kawicaksanaannya.
Adakalanya seorang empu memilih untuk memutuskan "pati-geni" pada masa-masa tertentu. Memutuskan untuk memadamkan api dalam jiwanya dan menahan diri dari bentuk keinginan apapun. Sebuah kondisi yang perlu pertimbangan panjang dan berulang untuk memutuskannya, dan tentunya dengan beralas dasar ikhlas sebagai lambaran. Masa inilah yang saat ini sedang dialami. Tapi mengapa beliau mengambil keputusan itu pada masa seperti ini? Momentum seperti apakah ini?


Sudah barang tentu ini semua terkait dengan hajat besar kelahiran jabang bayi yang beberapa waktu lalu tengah diselebrasikan. Ya seperti lazimnya sebuah kelahiran, setelah hingar bingarnya tentu perlu ada sebuah tirakat panjang. Tirakat Panjang yang dimaksudkan adalah bagian dari prosesi mengasuh apa yang akan tumbuh. Dan apa yang akan tumbuh, menjadi sebuah hal yang harus di-upakara secara utuh. Tidak bisa parsial, karena mengasuh bukanlah perkejaan yang bisa dilakukan "sambil lalu." Ini periode krusial, dan tentu tak semua orang cocok atau mampu.
Tidak boleh salah asuhan. Jika kita menginginkan pendekar yang tangguh maka kita butuh seorang Begawan Agung yang mumpuni untuk momong serta ndadar ilmu kanuragan maupun ilmu kasampurnan.

Namun sulit untuk menemukan seorang Begawan Agung di zaman sekarang. Karena Begawan Agung bukanlah mereka yang menawarkan diri di ruang-ruang publik. Begawan Agung biasa mendekam dalam ceruk kesunyiannya. Menjauh dari silau sorot lampu panggung dan ritual salim dinas serta tertawa karir atau segala macam kata gantinya.

Semalam saya menyeruput kopi sambil bergumam, mungkin inilah jawaban dari yang saya gelisahkan selama ini.
Meskipun tanpa pengakuan beliau, tapi keyakinan saya mengatakan bahwa sang empu saat ini sedang melakoni pati-geni agar mampu meredam bara yang memanas pada masa ini. Beliau juga menepi untuk "tapa ngrame" agar memiliki sudut pandang yang lebih luas dalam mengamati hingar-bingar, sehingga sang empu akan menjadi pribadi yang sangat siap ketika datang senjakala yang menggantang pudaran sinar. "Berjarak dengan kegembiraan itu adalah cara lain bagi orang bijak untuk mengurangi dampak kesedihan."

Tirakat sang empu tak lain adalah upaya menyiapkan diri, menjernihkan pikir, mensucikan hati dan pada saatnya nanti beliau hadir sebagai Begawan Agung untuk membersamai dan menuntun tumbuh kembang sang jabang bayi. Ini keyakinan saya dan optimisme terhadap si jabang bayi UU Pemasyarakatan yang baru dilahirkan 3 Agustus 2022.

Piwulang sang empu yang mampu saya kupas bermula dari lini masa yang beliau sampaikan. Menurut beliau satu tahun lebih adalah usia yang sudah mulai dilatih berbagai perangkat dan kelengkapannya agar berfungsi dengan baik. Distimulus untuk berkembang lebih maksimal, dilatih berbagai macam sensorinya agar memiliki kepekaan sehingga mampu memberikan respon yang tepat. Sampai pada akhirnya terbentuk naluri agar mampu mengatasi apa yang telah menjadi ketetapan takdirnya.

UU Pemasyarakatan harus benar-benar menyentuh poin-poin subtantif, bukan hanya pada tataran dekoratif. Karena pada dewasa ini si jabang bayi masih menjadi teks yang belum memiliki makna sosial secara signifikan. Bahkan ironisnya lagi di fase pertumbuhan yang masih seumur jagung muncul berbagai pandangan dan kekhawatiran.

Kelahiran UU Pemasyarakatan bukanlah tentang gagah-gagahan ide atau program, melainkan sebuah "jalan kembali" menuju apa yang kita yakini sebagai kitthah Pemasyarakatan. Ia adalah perjuangan panjang dalam melawan ortodoksi penjara. Dan sudah tentu ini adalah perkerjaan yang memerlukan energi besar, karena kita sedang merubah akar rumput yang begitu kuat dan bersahabat dengan paradigma kolonial.

Mampukah UU Pemasyarakatan menjadi sebuah titik balik? dimana kita harus kembali berpegang pada prinsip yang diikrarkan dalam Konferensi Jawatan Kepenjaraan tahun 1964, bahwa tembok hanyalah sebuah alat, bukan tujuan Pemasyarakatan. Usaha Pemasyarakatan tidak hanya bergantung pada kokohnya tembok atau kuatnya jeruji. Pemasyarakatan adalah segala bentuk usaha untuk mengembalikan para pelanggar hukum ke tengah-tengah masyarakat, maka dari itu kedudukannya bukanlah terpisah dari masyarakat itu sendiri.

Hal ini selaras dengan prinsip Pemasyarakatan yang menggariskan bahwa negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum dia dipenjarakan, dan ia harus dapat dikembalikan ke dalam kehidupan masyarakat sebagai warga masyarakat yang berguna. Prinsip tersebut mengambarkan bahwa Pemasyarakatan ingin memberikan sebuah makna negara harus hadir untuk melindungi masyarakat dengan mereduksi unsur-unsur kejahatan melalui pembangunan kapasitas pribadi para pelanggar hukum agar menjadi pribadi yang lebih baik. Inilah tujuan penting dari suatu pemidanaan, dimana mereformasi para pelanggar hukum lebih efektif daripada hanya sekedar menjauhkan para pelanggar hukum dengan cara mencabut kemerdekaan mereka.

UU Pemasyarakatan adalah sebuah respon terhadap tantangan dalam praktik penghukuman yang terkesan jauh dari kata efektif yang memancing gelombang tuntutan dari publik untuk dipertimbangkan kembali penggunaan institusi penghukuman atas dasar kemanusiaan, tujuan pemidanaan, serta sosial-ekonomi.

UU Pemasyarakatan semakin menegaskan bahwa saat ini Pemasyarakatan telah memasuki era baru. Kedepan setiap warga negara yang mendapat hukuman harus diberikan perlakuan yang disandarkan pada tingkat resiko, kondisi kesehatan, tingkat kepatuhan dan berbagai indikator lainnya yang tentunya setiap individu akan memiliki perbedaan. Treatment yang dilakukan tidak dapat lagi dilakukan secara "pukul rata". Jadi harus ada spesifikasi dan tujuan yang jelas sesuai dengan program intervensi yang diberikan.

Membesarkan UU Pemasyarakatan adalah bagaimana menjaga agar pondasi baru ini kuat didirikan bangunan institutional yang kokoh. Ini adalah sesuatu yang seharusnya ditangkap sebagai hal yang fundamental dan seharusnya secara berangsur-angsur dilakukan readjusment terhadap sistem yang saat ini berlangsung.

Tentunya dengan konsekuensi bahwa penyesuaian sistem adalah merubah subtansi, struktur, dan kultur. Celakanya lagi ketiganya sangat sulit diukur. Bagaimana anda akan mengukur subtansi? strukur? Atau bahkan kultur? Memang harus ada strategi dalam implementasi jabang bayi UU Pemasyarakatan.

Resistensi terhadap hal baru pasti ada. Yang perlu dijaga adalah, jangan sampai muncul banyak spekulan yang berani "riding the wave". Celakanya lagi apabila para penunggang gelombang tersebut tidak berdiri di posisi yg definitif. Semua mengayun sesuai dengan arah dan cuaca politik. Bahkan para penunggang gelombang bukan hanya akan mengacaukan, lebih parahnya malah akan merusak tatanan yang telah dikonstruksikan. Paradigma baru akan ditafsirkan sesuai arah dan desain penunggang gelombang itu sendiri. Justifikasi tentu akan menjadi pedang ampuh untuk menumpulkan berbagai argumen, logika, analogi dan segala bentuk lain yang telah ditata rapi diatas meja perjamuan.

Bagaikan sebuah tumbuhan, maka dia akan maksimal jika ditanam dan dirawat pada musim yang tepat. Pada cuaca yang panas seperti saat ini, harus disesuaikan tanaman apa yang cocok untuk ditanam. Jangan sampai UU Pemasyarakatan kita tanam pada cuaca dan konstelasi politik yang salah karena itu hanya akan menjadikan tanaman tersebut tidak bermanfaat dan tidak berarti apa-apa. Apalagi ini dilakukan dengan sengaja atau tidak peduli dengan ketidaksesuaiannya, maka ini adalah sebuah pengabaian yang sistemik, masif, dan terstruktur. Tentu saja akan menciderai upaya bersama dalam merawat dan membesarkannya.


Semoga Begawan Agung yang akan merawat jabang bayi ini dapat selalu ikhlas dan tidak pernah merasa lelah jika harus "tandur salah mangsa." Sebagaimana terdapat sebuah kredo bahwa, "Para petani akan selalu menanam, meskipun gagal panen."

* Yungalaaah Gusti,
mangsa dahuru, hera-heru, muga luputa selaning garu...


@sastrokechu
Jakarta, 23 Agustus 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun