UU Pemasyarakatan harus benar-benar menyentuh poin-poin subtantif, bukan hanya pada tataran dekoratif. Karena pada dewasa ini si jabang bayi masih menjadi teks yang belum memiliki makna sosial secara signifikan. Bahkan ironisnya lagi di fase pertumbuhan yang masih seumur jagung muncul berbagai pandangan dan kekhawatiran.
Kelahiran UU Pemasyarakatan bukanlah tentang gagah-gagahan ide atau program, melainkan sebuah "jalan kembali" menuju apa yang kita yakini sebagai kitthah Pemasyarakatan. Ia adalah perjuangan panjang dalam melawan ortodoksi penjara. Dan sudah tentu ini adalah perkerjaan yang memerlukan energi besar, karena kita sedang merubah akar rumput yang begitu kuat dan bersahabat dengan paradigma kolonial.
Mampukah UU Pemasyarakatan menjadi sebuah titik balik? dimana kita harus kembali berpegang pada prinsip yang diikrarkan dalam Konferensi Jawatan Kepenjaraan tahun 1964, bahwa tembok hanyalah sebuah alat, bukan tujuan Pemasyarakatan. Usaha Pemasyarakatan tidak hanya bergantung pada kokohnya tembok atau kuatnya jeruji. Pemasyarakatan adalah segala bentuk usaha untuk mengembalikan para pelanggar hukum ke tengah-tengah masyarakat, maka dari itu kedudukannya bukanlah terpisah dari masyarakat itu sendiri.
Hal ini selaras dengan prinsip Pemasyarakatan yang menggariskan bahwa negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum dia dipenjarakan, dan ia harus dapat dikembalikan ke dalam kehidupan masyarakat sebagai warga masyarakat yang berguna. Prinsip tersebut mengambarkan bahwa Pemasyarakatan ingin memberikan sebuah makna negara harus hadir untuk melindungi masyarakat dengan mereduksi unsur-unsur kejahatan melalui pembangunan kapasitas pribadi para pelanggar hukum agar menjadi pribadi yang lebih baik. Inilah tujuan penting dari suatu pemidanaan, dimana mereformasi para pelanggar hukum lebih efektif daripada hanya sekedar menjauhkan para pelanggar hukum dengan cara mencabut kemerdekaan mereka.
UU Pemasyarakatan adalah sebuah respon terhadap tantangan dalam praktik penghukuman yang terkesan jauh dari kata efektif yang memancing gelombang tuntutan dari publik untuk dipertimbangkan kembali penggunaan institusi penghukuman atas dasar kemanusiaan, tujuan pemidanaan, serta sosial-ekonomi.
UU Pemasyarakatan semakin menegaskan bahwa saat ini Pemasyarakatan telah memasuki era baru. Kedepan setiap warga negara yang mendapat hukuman harus diberikan perlakuan yang disandarkan pada tingkat resiko, kondisi kesehatan, tingkat kepatuhan dan berbagai indikator lainnya yang tentunya setiap individu akan memiliki perbedaan. Treatment yang dilakukan tidak dapat lagi dilakukan secara "pukul rata". Jadi harus ada spesifikasi dan tujuan yang jelas sesuai dengan program intervensi yang diberikan.
Membesarkan UU Pemasyarakatan adalah bagaimana menjaga agar pondasi baru ini kuat didirikan bangunan institutional yang kokoh. Ini adalah sesuatu yang seharusnya ditangkap sebagai hal yang fundamental dan seharusnya secara berangsur-angsur dilakukan readjusment terhadap sistem yang saat ini berlangsung.
Tentunya dengan konsekuensi bahwa penyesuaian sistem adalah merubah subtansi, struktur, dan kultur. Celakanya lagi ketiganya sangat sulit diukur. Bagaimana anda akan mengukur subtansi? strukur? Atau bahkan kultur? Memang harus ada strategi dalam implementasi jabang bayi UU Pemasyarakatan.
Resistensi terhadap hal baru pasti ada. Yang perlu dijaga adalah, jangan sampai muncul banyak spekulan yang berani "riding the wave". Celakanya lagi apabila para penunggang gelombang tersebut tidak berdiri di posisi yg definitif. Semua mengayun sesuai dengan arah dan cuaca politik. Bahkan para penunggang gelombang bukan hanya akan mengacaukan, lebih parahnya malah akan merusak tatanan yang telah dikonstruksikan. Paradigma baru akan ditafsirkan sesuai arah dan desain penunggang gelombang itu sendiri. Justifikasi tentu akan menjadi pedang ampuh untuk menumpulkan berbagai argumen, logika, analogi dan segala bentuk lain yang telah ditata rapi diatas meja perjamuan.
Bagaikan sebuah tumbuhan, maka dia akan maksimal jika ditanam dan dirawat pada musim yang tepat. Pada cuaca yang panas seperti saat ini, harus disesuaikan tanaman apa yang cocok untuk ditanam. Jangan sampai UU Pemasyarakatan kita tanam pada cuaca dan konstelasi politik yang salah karena itu hanya akan menjadikan tanaman tersebut tidak bermanfaat dan tidak berarti apa-apa. Apalagi ini dilakukan dengan sengaja atau tidak peduli dengan ketidaksesuaiannya, maka ini adalah sebuah pengabaian yang sistemik, masif, dan terstruktur. Tentu saja akan menciderai upaya bersama dalam merawat dan membesarkannya.
Semoga Begawan Agung yang akan merawat jabang bayi ini dapat selalu ikhlas dan tidak pernah merasa lelah jika harus "tandur salah mangsa." Sebagaimana terdapat sebuah kredo bahwa, "Para petani akan selalu menanam, meskipun gagal panen."