Mohon tunggu...
Sastrokechu
Sastrokechu Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh Laju// Penyintas Kehidupan Urban// Peminat Program Swanirwana

#Tan Hana Dharma Mangrwa #Yungalaaahhh Gusti, menawi kulo salah dalan jenengan shareloc mawon

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Penjara dan Massive Idle Labor #3

27 Juni 2022   03:00 Diperbarui: 27 Juni 2022   05:14 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam fungsi sosial, pekerjaan narapidana bukan semata-mata ditujukan untuk komersial atau bersifat profit oriented, namun lebih dimaksudkan sebagai media bagi narapidana untuk mengaktualisasi dirinya sebagai pribadi, anggota masyarakat atau terlebih lagi sesuai dengan khittah-nya sebagai khalifahtullah di muka bumi. Maka melalui kegiatan kerja yang bermanfaat mereka dapat berperan utuh dalam mengabdi kepada Tuhan maupun menjalankan peranannya sebagaimana layaknya anggota masyarakat.

R.A. Koesnoen, juga melegitimasi bahwa pekerjaan narapidana itu adalah merupakan kewajiban yang diatur dalam Reglemen Penjara Pasal 57 s/d 64. Dimana yang dipidana penjara harus bekerja berat (yang dimaksudkan adalah pekerjaan yang harus menghasilkan) sedangkan yang dipidana kurungan dipekerjakan ringan menjadi korve. 

Selain itu, Koesnoen juga berpendapat bahwa pemberian pekerjaan adalah salah satu terapi yang penting bagi orang-orang hukuman. Tiap-tiap orang hukuman, yang tidak sakit harus diberi pekerjaan penuh setiap harinya, selama 7 atau 8 jam.

Pada tingkat internasional, kegiatan kerja di dalam penjara diatur di dalam Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (SMR) yang disepakati oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa tahun 1955. Di dalam SMR ini ditegaskan secara eksplisit bahwa setiap narapidana harus diminta untuk bekerja, yang bertujuan untuk menjaga kesehatan fisik dan mental. Pekerjaan juga seharusnya disediakan untuk meningkatkan kemampuan narapidana dalam kehidupan yang baik pasca bebas dari penjara.

Namun prinsip lain di dalam SMR juga menegaskan bahwa minat dan kepentingan narapidana serta pelatihan vokasionalnya menjadi poin penting karena kegiatan kerja tersebut tidak dapat diletakkan di bawah kepentingan profit yang biasa dikejar di dalam sebuah aktivitas produksi. 

Di dalam SMR juga ditegaskan bahwa harus ada sistem remunerasi (upah/premi) yang pantas dan wajar bagi narapidana yang bekerja. 

Disamping itu narapidana harus diizinkan untuk membelanjakan sebagian dari upah yang dimilikinya untuk keperluan tertentu bagi dirinya atau mengirimkan sebagian lainnya kepada keluarganya atau mungkin dapat disisihkan sebagai tabungan yang diberikan kembali kepada narapidana saat yang bersangkutan bebas.

Tantangan terhadap implementasi praktik kegiatan kerja produksi di Lapas berangkat dari diskursus ide yang mendasari pelaksanaan kegiatan tersebut. Sistem Pemasyarakatan titik tekannya adalah latihan keterampilan kerja bukan produksi barang yang semata-mata untuk tujuan komersil. Hal ini lah yang mendasari perubahan konseptual perusahaan Lembaga Pemasyarakatan menjadi bengkel kerja narapidana pada tahun 1973. 

Dengan surat keputusan Direktur Jenderal Bina Tuna Warga tahun 1973, ditetapkan bahwa nama perusahaan Lembaga Pemasyarakatan dirubah menjadi bengkel kerja narapidana. sebelumnya S.E. Kepala Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 27 Juni 1966 menetapkan penggolongan perusahaan besar di 7 lembaga (Cipinang, Cirebon Kuningan, Sukamiskin, Yogyakarta, Semarang, Nusakambangan, dan Surabaya) dan perusahaan-perusahaan sedang di 16 lembaga, sedangkan lain-lainnya digolongkan menjadi perusahaan-perusahaan kecil. 

Kemudian berdasarkan kenyataan bahwa perusahaan tersebut tidak dapat berjalan lancar, maka dengan S.E. Kepala Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tahun 1968 diadakan penyederhanaan dengan mengurangi jumlah perusahaan yang digolongkan dalam perusahaan sedang menjadi hanya di 4 lembaga (Pekalongan, Madiun, Malang, Pamekasan), sedangkan golongan perusahaan kecil dihapuskan.

Kegamangan terhadap ide kerja produksi di Lapas juga terjadi di luar negeri, dimana terdapat pertentangan antara tujuan pencapaian keuntungan ekonomis dari perusahaan dengan tujuan rehabilitatif dan reintegratif dari Lapas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun