Syahdan, pemasyarakatan secara ide merupakan anak kandung Dr. (Hc) Sahardjo. Terlepas mendapat pulung dari hasil kontemplasi sendiri atau dari hasil pergulatan ide dengan berbagai orang, yang jelas secara konseptual pemasyarakatan disuarakan oleh Sahardjo pada tahun 1963. “...Tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan…” demikian Sahardjo (yang kala itu adalah seorang Menteri Kehakiman merangkap Menteri Koordinator Hukum dan Dalam Negeri) menyatakan dalam Pidato Beringin Pengayoman pada pengukuhan sebagai doktor honoris causa Ilmu Hukum oleh Universitas Indonesia.
Pidato tersebut kemudian dicatat sebagai rujukan secara momen maupun dokumen terhadap terminologi pemasyarakatan. Sekali lagi itu hanya konseptual, karena perubahan secara “sistem” dari kepenjaraan menjadi pemasyarakatan baru disepakati pada tahun 1964 dalam Konferensi Jawatan Kepenjaraan di Lembang, Bandung. Terdapat jeda satu tahun setelah pidato Sahardjo, dan pada saat dilahirkan, sistem pemasyarakatan dalam kondisi yatim karena Sahardjo telah berpulang.
Adalah Presiden Soekarno yang meminang pemasyarakatan menjadi sebuah sistem untuk diintegrasikan dalam sistem hukum Indonesia menggantikan sistem warisan kolonial. Dalam pembukaan konferensi jawatan kepenjaraan di Lembang, Paduka Jang Mulia (P.J.M) Presiden Republik Indonesia, Pemimpin Besar Revolusi, Pengayom Agung mengamanatkan “apa yang dulu dinamakan kepenjaraan sekarang telah di-retool dan di-reshape menjadi pemasyarakatan selaras dengan Manipol/USDEK.”
Mendasarkan pada amanat Presiden tersebutlah tonggak awal Sistem Pemasyarakatan ditancapakan untuk memulai eksistensinya. Dan amanat ini lah yang kemudian didapuk sebagai pinangan Presiden Soekarno terhadap anak yatim Sahardjo bernama Pemasyarakatan.
Secara politis, tanpa pinangan Presiden Soekarno pemasyarakatan hanyalah sebuah konsep yang akan hadir pada naskah-naskah reformasi pemenjaraan. Ini terbukti dari kesepakatan pada piagam hasil konferensi di Lembang yang mengukuhkan tanggal amanat Presiden Soekarno tersebut menjadi hari bhakti Pemasyarakatan.
Bukti lain adalah 2 (dua) konferensi awal (konferensi jawatan kepenjaraan pertama di Nusakambangan tahun 1951 dan konferensi jawatan kepenjaraan kedua di Sarangan, Madiun tahun 1956) tidak banyak memberikan dampak pada konversi kepenjaraan menjadi pemasyarakatan meskipun wacana pemasyarakatan telah dilempar ke khalayak sebagai materi bahasan.
Betapapun upaya mewacanakan pemasyarakatan sebagai rekayasa sosial yang lebih baik daripada kepenjaraan digulirkan, namun tidak akan berarti jika Pemimpin Besar Revolusi tidak meminangnya sebagai bagian dari alat revolusi dalam mencapai Masyarakat Sosialis Indonesia.
Indonesia pada masa setelah dekrit Presiden 1959, secara politik-ideologi mengalami pengerucutan, bahkan berangsur-angsur meruncing. Kultus individu terhadap “Bung Besar” pun memuncak pada periode Demokrasi Terpimpin tersebut.
Bahkan boleh dikatakan dalih yang mendasari transformasi sistem kepenjaraan saat itu adalah ketidak sesuaian sistem tersebut dengan corak budaya bangsa yang dimanifestasikan oleh Presiden Soekarno melalui Manipol/USDEK (Manifesto Politik/Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Pada masa itu Manipol/USDEK sendiri oleh Soekarno dijadikan sebagai haluan negara Republik Indonesia, bagaikan Quran dan Hadis, Pancasila dan Manipol/USDEK pun merupakan satu kesatuan yang harus dijalankan oleh semua bangsa Indonesia.
Harapan dari pembaharuan Sistem Kepenjaraan menjadi Sistem Pemasyarakatan tersebut adalah terbentuknya sebuah sistem yang memiliki kekuatan revolusioner untuk sungguh-sunguh melepaskan diri dari segala pengaruh yang ditimbulkan oleh alam pikiran liberal, serta diharapkan juga terdapat kegairahan revolusioner untuk sungguh-sungguh membawa semangat revolusi kedalam segala pengejawantahan dari konsepsi revolusi negara Indonesia.
Bung Karno secara tegas meletakan politik pemenjaraan pada posisi bahwa tiap manusia adalah makhluk Tuhan yang hidup bermasyarakat maka dalam sistem Pemasyarakatan Indonesia para narapidana diintegrasikan dengan masyarakat dan diikutsertakan dalam pembangunan ekonomi negara secara aktif-offensif agar dapat menimbulkan diantara mereka rasa turut bertanggung jawab dalam usaha bersama mengamankan revolusi.