Mohon tunggu...
Sastrokechu
Sastrokechu Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh Laju// Penyintas Kehidupan Urban// Peminat Program Swanirwana

#Tan Hana Dharma Mangrwa #Yungalaaahhh Gusti, menawi kulo salah dalan jenengan shareloc mawon

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Massa Iddah Politik Pemenjaraan

18 Agustus 2021   00:08 Diperbarui: 18 Agustus 2021   00:17 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Syahdan, pemasyarakatan secara ide merupakan anak kandung Dr. (Hc) Sahardjo. Terlepas mendapat pulung dari hasil kontemplasi sendiri atau dari hasil pergulatan ide dengan berbagai orang, yang jelas secara konseptual pemasyarakatan disuarakan oleh Sahardjo pada tahun 1963. “...Tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan…” demikian Sahardjo (yang kala itu adalah seorang Menteri Kehakiman merangkap Menteri Koordinator Hukum dan Dalam Negeri) menyatakan dalam Pidato Beringin Pengayoman pada pengukuhan sebagai doktor honoris causa Ilmu Hukum oleh Universitas Indonesia. 

Pidato tersebut kemudian dicatat sebagai rujukan secara momen maupun dokumen terhadap terminologi pemasyarakatan. Sekali lagi itu hanya konseptual, karena perubahan secara “sistem” dari kepenjaraan menjadi pemasyarakatan baru disepakati pada tahun 1964 dalam Konferensi Jawatan Kepenjaraan di Lembang, Bandung. Terdapat jeda satu tahun setelah pidato Sahardjo, dan pada saat dilahirkan, sistem pemasyarakatan dalam kondisi yatim karena Sahardjo telah berpulang.

Adalah Presiden Soekarno yang meminang pemasyarakatan menjadi sebuah sistem untuk diintegrasikan dalam sistem hukum Indonesia menggantikan sistem warisan kolonial. Dalam pembukaan konferensi jawatan kepenjaraan di Lembang, Paduka Jang Mulia (P.J.M) Presiden Republik Indonesia, Pemimpin Besar Revolusi, Pengayom Agung mengamanatkan “apa yang dulu dinamakan kepenjaraan sekarang telah di-retool dan di-reshape menjadi pemasyarakatan selaras dengan Manipol/USDEK.” 

Mendasarkan pada amanat Presiden tersebutlah tonggak awal Sistem Pemasyarakatan ditancapakan untuk memulai eksistensinya. Dan amanat ini lah yang kemudian didapuk sebagai pinangan Presiden Soekarno terhadap anak yatim Sahardjo bernama Pemasyarakatan.

Secara politis, tanpa pinangan Presiden Soekarno pemasyarakatan hanyalah sebuah konsep yang akan hadir pada naskah-naskah reformasi pemenjaraan. Ini terbukti dari kesepakatan pada piagam hasil konferensi di Lembang yang mengukuhkan tanggal amanat Presiden Soekarno tersebut menjadi hari bhakti Pemasyarakatan. 

Bukti lain adalah 2 (dua) konferensi awal (konferensi jawatan kepenjaraan pertama di Nusakambangan tahun 1951 dan konferensi jawatan kepenjaraan kedua di Sarangan, Madiun tahun 1956) tidak banyak memberikan dampak pada konversi kepenjaraan menjadi pemasyarakatan meskipun wacana pemasyarakatan telah dilempar ke khalayak sebagai materi bahasan. 

Betapapun upaya mewacanakan pemasyarakatan sebagai rekayasa sosial yang lebih baik daripada kepenjaraan digulirkan, namun tidak akan berarti jika Pemimpin Besar Revolusi tidak meminangnya sebagai bagian dari alat revolusi dalam mencapai Masyarakat Sosialis Indonesia.

Indonesia pada masa setelah dekrit Presiden 1959, secara politik-ideologi mengalami pengerucutan, bahkan berangsur-angsur meruncing. Kultus individu terhadap “Bung Besar” pun memuncak pada periode Demokrasi Terpimpin tersebut. 

Bahkan boleh dikatakan dalih yang mendasari transformasi sistem kepenjaraan saat itu adalah ketidak sesuaian sistem tersebut dengan corak budaya bangsa yang dimanifestasikan oleh Presiden Soekarno melalui Manipol/USDEK (Manifesto Politik/Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Pada masa itu Manipol/USDEK sendiri oleh Soekarno dijadikan sebagai haluan negara Republik Indonesia, bagaikan Quran dan Hadis, Pancasila dan Manipol/USDEK pun merupakan satu kesatuan yang harus dijalankan oleh semua bangsa Indonesia. 

Harapan dari pembaharuan Sistem Kepenjaraan menjadi Sistem Pemasyarakatan tersebut adalah terbentuknya sebuah sistem yang memiliki kekuatan revolusioner untuk sungguh-sunguh melepaskan diri dari segala pengaruh yang ditimbulkan oleh alam pikiran liberal, serta diharapkan juga terdapat kegairahan revolusioner untuk sungguh-sungguh membawa semangat revolusi kedalam segala pengejawantahan dari konsepsi revolusi negara Indonesia. 

Bung Karno secara tegas meletakan politik pemenjaraan pada posisi bahwa tiap manusia adalah makhluk Tuhan yang hidup bermasyarakat maka dalam sistem Pemasyarakatan Indonesia para narapidana diintegrasikan dengan masyarakat dan diikutsertakan dalam pembangunan ekonomi negara secara aktif-offensif agar dapat menimbulkan diantara mereka rasa turut bertanggung jawab dalam usaha bersama mengamankan revolusi.

Tiba-tiba saja, belum selesai tahun 1964, pada bulan agustus tepat di perayaan kemerdekaan Republik Indonesia ke-19 Presiden Soekarno mengejutkan kita dengan pidatonya bahwa tahun tersebut adalah tahun vivere pericoloso, tahun dimana kita hidup dengan penuh bahaya. 

Soekarno mengisyaratkan revolusi Indonesia akan terhambat oleh gerakan-gerakan kontra revolusioner. Akan ada gerakan para neo-kolonialis yang diboncengi para imperialis modern atau gerakan mendua yang bersuara lantang mendukung revolusi namun di sisi lain memiliki agenda tersendiri. 

Dan apa yang harus terjadi terjadilah, pada tahun berikutnya gesekan berbagai manuver memanaskan tungku politik hingga meledak tak terkendali. Pada 1 Oktober 1965 terjadi peristiwa Coup d’Etat yang kemudian menjadi pemantik power struggle dan secara sistematis menggerus kekuasaan Soekarno. Dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama segala atribut kekuasaan Soekarno dilucuti. Pengambil-alihan kekuasaan dan aneksasi simpul-simpul kekuatan terus menerus dilakukan untuk menumbangkan hegemoni Soekarno. 

Bahkan inkapasitasi terhadap Soekarno pun dilakukan hingga pada gilirannya harus di “wisma yaso”-kan. Rezim yang berlaku juga berkepentingan untuk me-dekonstruksi segala macam pemikiran dan ajaran Soekarno melalui penggalangan aksi-aksi “de-Soekarnoisasi.” Bermacam jargon seperti “pejah gesang nderek Bung Karno” maupun kolom tulisan tentang “Marhaenis” yang berkeliaran di berbagai platform media massa juga menjadi sasaran pembredelan. Pendek kata, rezim baru ingin melakukan pembersihan serta tidak menghendaki segala hal-ihwal dari orde lama tumbuh dan berlanjut.

Celakanya adalah, Pemasyarakatan merupakan sistem yang dipinang oleh Soekarno yang selaras dengan Manipol/USDEK sebagai alat revolusi untuk mencapai masyarakat sosialis Indonesia. Sudah barang tentu Pemasyarakatan terlunta-lunta ditinggal peminangnya. Harapan apa yang dapat dibayangkan menghadapi rezim pembredelan dan memiliki resistensi terhadap segala macam bentuk tinggalan orde lama? 

Sebegitu sentimennya kah, atau ada faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi? Yang jelas Pemasyarakatan mengalami masa iddah hampir 31 tahun untuk kembali dipinang oleh rezim yang berlaku sehingga diintegrasikan kedalam sistem hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Ada alasan khusus mengapa digunakan sebuah diksi yang dipungut dari konsep teologi tersebut. Preferensi penggunaan diksi ini dirasa dapat menggambarkan sebuah kondisi waktu tenggang yang lebih hidup. 

Sebetulnya secara formal dalam bahasa hukum terdapat istilah yang lazim dipakai untuk menjelaksan kondisi kekosongan ini yaitu anomali. Namun pilihannya tidak jatuh pada istilah hukum tersebut, karena sebuah kekhawatiran terhadap pemaknaan yang akan sangat kaku dan terbatas sehingga memiliki limitasi dalam mengkonstruksikan dinamika, ambience, bahkan tata diorama pikiran kita. Masa iddah merupakan waktu tunggu yang harus diperhatikan oleh calon mempelai sebelum meminang maupun menerima pinangan. 

Hal ini dilakukan untuk memastikan kosongnya rahim (dari calon mempelai perempuan yang ditinggal meninggal suami atau dicerai hidup) sehingga dapat dipastikan keturunan yang terlahir dari pasangan tersebut memiliki kemurnian nasab. Butuh waktu sekian lama untuk meyakinkan rezim baru bahwa tidak ada percampuran ideologi dari penguasa sebelumnya dan memastikan tidak akan ada produk yang keluar dari sistem baru ini dengan nasab bercabang. Sejak ditinggal peminang pertama hingga dipinang kembali oleh rezim berikutnya, Pemasyarakatan tidak memiliki dasar hukum yang eksplisit mengatur tentang Pemasyarakatan. 

Pada masa itu Pemasyarakatan masih menggunakan Reglemen Penjara yang tentunya akan kontradiktif dengan semangat awal diubahnya penjara menjadi Pemasyarakatan, sistemnya sudah dirubah dengan cita rasa Indonesia tetapi dasar hukumnya masih tetap memakai menu warisan Belanda. Atau paling ekstrimnya, jangan-jangan Pemasyarakatan pada masa itu hanya sebuah nomenklatur, karena treatment yang berlaku masih merujuk pada metode kepenjaraan. Dibilang penjara kok sudah Pemasyarakatan, dibilang Pemasyarakatan kok masih penjara. Sebuah situasi yang pelik tentunya.

Pada perayaan kemerdekaan Republik Indonesia ke-76 tahun 2021 ini sudah saatnya kita perlu melakukan readjustment terhadap arah politik pemenjaraan Indonesia. Membludaknya angka hunian penjara seharusnya disikapi bukan hanya sebagai angka dan data, namun dapat ditangkap sebagai potret realita. Wacana perubahan dan diskusi tematik terkait perbaikan sector pemenjaraan telah digiatkan kian kemari, bahkan secara konseptual 3 (tiga) tahun lalu nyaris mendapat kesepakatan legal formal. Tinggal rezim yang berlaku siap untuk meminang secara politis atau masih mau menimbang masa iddahnya.
 
@sastrokechu
Jakarta, 17 Agustus 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun