Tiba-tiba saja, belum selesai tahun 1964, pada bulan agustus tepat di perayaan kemerdekaan Republik Indonesia ke-19 Presiden Soekarno mengejutkan kita dengan pidatonya bahwa tahun tersebut adalah tahun vivere pericoloso, tahun dimana kita hidup dengan penuh bahaya.
Soekarno mengisyaratkan revolusi Indonesia akan terhambat oleh gerakan-gerakan kontra revolusioner. Akan ada gerakan para neo-kolonialis yang diboncengi para imperialis modern atau gerakan mendua yang bersuara lantang mendukung revolusi namun di sisi lain memiliki agenda tersendiri.
Dan apa yang harus terjadi terjadilah, pada tahun berikutnya gesekan berbagai manuver memanaskan tungku politik hingga meledak tak terkendali. Pada 1 Oktober 1965 terjadi peristiwa Coup d’Etat yang kemudian menjadi pemantik power struggle dan secara sistematis menggerus kekuasaan Soekarno. Dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama segala atribut kekuasaan Soekarno dilucuti. Pengambil-alihan kekuasaan dan aneksasi simpul-simpul kekuatan terus menerus dilakukan untuk menumbangkan hegemoni Soekarno.
Bahkan inkapasitasi terhadap Soekarno pun dilakukan hingga pada gilirannya harus di “wisma yaso”-kan. Rezim yang berlaku juga berkepentingan untuk me-dekonstruksi segala macam pemikiran dan ajaran Soekarno melalui penggalangan aksi-aksi “de-Soekarnoisasi.” Bermacam jargon seperti “pejah gesang nderek Bung Karno” maupun kolom tulisan tentang “Marhaenis” yang berkeliaran di berbagai platform media massa juga menjadi sasaran pembredelan. Pendek kata, rezim baru ingin melakukan pembersihan serta tidak menghendaki segala hal-ihwal dari orde lama tumbuh dan berlanjut.
Celakanya adalah, Pemasyarakatan merupakan sistem yang dipinang oleh Soekarno yang selaras dengan Manipol/USDEK sebagai alat revolusi untuk mencapai masyarakat sosialis Indonesia. Sudah barang tentu Pemasyarakatan terlunta-lunta ditinggal peminangnya. Harapan apa yang dapat dibayangkan menghadapi rezim pembredelan dan memiliki resistensi terhadap segala macam bentuk tinggalan orde lama?
Sebegitu sentimennya kah, atau ada faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi? Yang jelas Pemasyarakatan mengalami masa iddah hampir 31 tahun untuk kembali dipinang oleh rezim yang berlaku sehingga diintegrasikan kedalam sistem hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Ada alasan khusus mengapa digunakan sebuah diksi yang dipungut dari konsep teologi tersebut. Preferensi penggunaan diksi ini dirasa dapat menggambarkan sebuah kondisi waktu tenggang yang lebih hidup.
Sebetulnya secara formal dalam bahasa hukum terdapat istilah yang lazim dipakai untuk menjelaksan kondisi kekosongan ini yaitu anomali. Namun pilihannya tidak jatuh pada istilah hukum tersebut, karena sebuah kekhawatiran terhadap pemaknaan yang akan sangat kaku dan terbatas sehingga memiliki limitasi dalam mengkonstruksikan dinamika, ambience, bahkan tata diorama pikiran kita. Masa iddah merupakan waktu tunggu yang harus diperhatikan oleh calon mempelai sebelum meminang maupun menerima pinangan.
Hal ini dilakukan untuk memastikan kosongnya rahim (dari calon mempelai perempuan yang ditinggal meninggal suami atau dicerai hidup) sehingga dapat dipastikan keturunan yang terlahir dari pasangan tersebut memiliki kemurnian nasab. Butuh waktu sekian lama untuk meyakinkan rezim baru bahwa tidak ada percampuran ideologi dari penguasa sebelumnya dan memastikan tidak akan ada produk yang keluar dari sistem baru ini dengan nasab bercabang. Sejak ditinggal peminang pertama hingga dipinang kembali oleh rezim berikutnya, Pemasyarakatan tidak memiliki dasar hukum yang eksplisit mengatur tentang Pemasyarakatan.
Pada masa itu Pemasyarakatan masih menggunakan Reglemen Penjara yang tentunya akan kontradiktif dengan semangat awal diubahnya penjara menjadi Pemasyarakatan, sistemnya sudah dirubah dengan cita rasa Indonesia tetapi dasar hukumnya masih tetap memakai menu warisan Belanda. Atau paling ekstrimnya, jangan-jangan Pemasyarakatan pada masa itu hanya sebuah nomenklatur, karena treatment yang berlaku masih merujuk pada metode kepenjaraan. Dibilang penjara kok sudah Pemasyarakatan, dibilang Pemasyarakatan kok masih penjara. Sebuah situasi yang pelik tentunya.
Pada perayaan kemerdekaan Republik Indonesia ke-76 tahun 2021 ini sudah saatnya kita perlu melakukan readjustment terhadap arah politik pemenjaraan Indonesia. Membludaknya angka hunian penjara seharusnya disikapi bukan hanya sebagai angka dan data, namun dapat ditangkap sebagai potret realita. Wacana perubahan dan diskusi tematik terkait perbaikan sector pemenjaraan telah digiatkan kian kemari, bahkan secara konseptual 3 (tiga) tahun lalu nyaris mendapat kesepakatan legal formal. Tinggal rezim yang berlaku siap untuk meminang secara politis atau masih mau menimbang masa iddahnya.
@sastrokechu
Jakarta, 17 Agustus 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H