[caption caption="sumber: http://panni007.com/"][/caption]Malam itu, jarum pendek sudah hampir menyentuh angka sembilan. Roy baru pulang dari supermarket membeli 2 ikat kangkung dan sebungkus tepung bumbu serta beberapa bumbu dapur lainnya. Udang Goreng tepung dan Cah Kangkung, dua menu yang akan dimasaknya malam ini. Memang sudah terlalu malam untuk jam makan malam normal.
Tapi ya inilah kebiasaan keluarga Roy, makan malam di jam yang agak larut. Sebagai seorang pemuda berusia 25 tahun, memang Roy bisa dibilang manusia langka, dia suka masak. Bukan hanya mamanya, papa dan kakak perempuan-nya pun mengakui menu spesial buatan Roy tak kalah dengan resto chinese-food kelas menengah.
Usai berganti baju dengan boxer biru-kuning bergambar Spongebob, udang windu yang sudah bersih dari supermarket, di cucinya lagi. Kepala, punggung dan bagian kaki di sikat hingga ia benar-benar yakin bersih. Ia selalu ingat ajaran mamanya mengenai kebersihan dan kerapian potongan bahan bahan. Bukankah sudah dibilang, jika ia termasuk pemuda langka. Dia sangat memperhatikan kebersihan makanan. Seperti mamanya.
Udang sudah bersih, saatnya merendam dalam bumbu. Merica, garam, sedikit bawang putih, kecap ikan, sedikit kecap asin, dan sedikit minyak wijen untuk menambah aroma unik dan menggugah selera. Roy memasukan bumbu itu sudah seperti seorang professional. Sendok teh, sendok makan, atau takaran yang lain tak dipakainya. Dia terbiasa mengandalkan instingnya. Tentu tak lupa sedikit mengincip untuk memastikan bumbu sesuai dengan seleranya. Roy memang cerewet masalah rasa makanan. Kurang ini, kurang itu, selalu jadi bahan kritikan. Kakak perempuan nya juga sering bête karena rasa masakan si kakak jarang bisa pas dengan selera adiknya yang beda usia 6 tahun. Roy memang cerewet soal rasa, tapi itu berimbang dengan bakat masaknya. Seperti mamanya.
Sementara para udang dibiarkan berendam dalam kolam bumbu. Sekarang giliran kangkung yang dikerjakannya. Setelah dibilas sekali lagi,dipotongnya dengan teliti. Roy tak suka bagian tangkai sayuran itu. Maka hanya dipastikan dengan teliti hanya daun-daun saja yang dimasak dan beberapa sulur pendek tangkai muda. Tangan cekatan menggeprak bawang putih, serta mencacahnya seperti koki hebat di tivi-tivi. Lombok merah besar dipotong dengan ketebalan yang kasat mata hampir sama. Hebat. Rapi. Seperti mamanya.
Setelah beberapa saat udang direndam bumbu. Saatnya kini menggoreng. Tepung sudah disiapkan. Kentalnya pas, supaya lapisan tepung tak terlalu tebal. Minyak panas sudah mengepul. Seekor udang dengan ukuran paling kecil dimasukannya minyak. Cress… sreeeng…… yakin dengan suhu minyak, dia masukan satu udang yang sudah direndamnya. Ehm… kali ini dia tak terlihat seperti koki professional. Ya, Roy takut cipratan minyak panas. Memasukan udang ke wajan berminyak, kedua kakinya memasang kuda-kuda siaga seperti mau memantik mercon yang amat pendek sumbunya. Melihat pertunjukan masak Roy, ini adalah adegan paling menghibur. Ekspresi dan posisi tubuhnya selalu lebay. Roy takut api, takut cipratan minyak panas. Seperti mamanya.
Sambil menunggu udang gendut berubah warna menjadi merah dan terlapis tepung warna kuning keemasan. Wajan di sebelah kanan sudah siap untuk memasak cah kangkung. Roy juga cerewet soal tingkat kematangan sayur. Bagi Roy, sayur harus diangkat sebelum menjadi lembek dan layu diatas kompor. Sayur yang pas kematangan nya, maksimal gizinya. Itu prinsip masak yang dianutnya. Seperti mamanya.
Udang goreng tepung, dan cah kangkung selesai masak pada waktu yang hampir bersamaan. Udang di tata berjejer rapi diatas piring kotak hijau muda seakan berbaris dua shaf . Cah Kangkung, dituangnya di piring ceper lonjong warna hijau. Disajikannya kedua masakan itu di atas meja makan. Masakan sudah siap. Saatnya kini memanggil yang lain untuk menikmati bersama masakan spesialnya. “Pa… Cie… (panggilan kakak perempuan) ayo makan…”, panggilnya. Papa yang dari tadi menahan lapar dengan membolak-balik koran yang sudah selesai dibacanya siang tadi, sontak beranjak dari sofa. “Makan.. makan.. lapar… “. “Nik!… ayo… makan” papa memanggil lagi cie-cie yang dari tadi jarinya tak berhenti membuka bergantian instagram dan twitter via android nya. Bukan sedang berjualan online, sama seperti papanya, cie-cie sedang berusaha mengalihkan perhatian dari musik keroncong yang lama bermain di perutnya.
Roy, papa dan cie-cie makan bertiga di meja makan dengan empat kursi makan itu. Satu kursi memang kosong.
Sembari makan masakannya sendiri, video nostalgia seakan terputar di pikiran Roy. Bagaimana mama menegurnya keras saat daging yang belum dibilas sudah di bumbu. Waktu itu potongan daging dientas, dicuci bersih dengan air hangat, baru dibumbu ulang. Mama mengomel panjang, karena potongan sayur dan Lombok merah yang tak sama jenjang. Ketika gantian Roy memprotes mamanya yang lebay takut minyak panas penggorengan. Pasalnya mama sempat meledek: “Nggoreng kok kayak pasukan romawi?! pake tameng wajan sama pedang sutil.”
Sayur yang terlalu matang tak luput jadi bahan cacian mama. Memang cah kangkung waktu itu, terlalu matang, tapi rasanya cukup enak. Mama habiskan sendiri, walau mengomel tak henti. Ingatan itu membekas tak lepas. Tak terasa air matanya menderas lepas. Cie-cie tahu apa yang dirasa adiknya, tapi tak mau komentar. Papa tangannya asik mengupas kulit udang, tak sempat memperhatikan anak bungsunya.
Mama memang banyak mengomel dan mencaci. Karena itulah, Roy sempat malas pulang ke rumah. Dia memilih kecantol sama pacarnya. Roy tahu persis orang tuanya pasti tak akan setuju dengan perempuan itu, karena itu Roy tak pernah memberi tahu orang tuanya bahwa ia punya pacar. Pamit pada papa mama untuk kerja pagi, siang, malam. Beralasan bosnya pekerja keras dan minta di temani cangkruk atau makan di larut malam. “Kejar jualan, customer mau ketemu jam 11 malam”, katanya dulu menyampaikan alasan lainnya. Mamanya yang peka berkali curiga. Lagipula Ibu mana yang bisa dibohongi anaknya? 9 bulan di kandungan dan mengasuh mulai dari bayi hingga anaknya besar membuat rata-rata ibu begitu mengenal angkanya dengan dekat. Tak segampang itu mengibuli seorang Ibu.
Roy sedang cinta buta dengan perempuan yang dirahasiakannya. Berkali pula mamanya tanya, “Punya pacar ta kamu? kok pulang malam-malam?” “Kamu sekarang jarang di rumah, kapan mau masak buat mama lagi?” Karena sudah curiga mamanya pun berkali-kali berpesan: “Kalo cari pacar cari yang se-iman, kalo bisa se-suku, supaya kamu nikah ngga repot, ngga banyak perbedaan”. Tapi Roy tak pernah menjawab pertanyaan mamanya. Malah bilang mamanya kepo: “ini urusan kantor, Ma. Apaan seh? Tanya tanya terus? Buat aku malas di rumah” sahutnya ketus.
Pada masa Roy jarang di rumah itu lah, kanker menggerogoti tubuh mamanya. Mulai dari payudara kanan. Dengan lekas menyebar ke payudara kiri, menyebar ke tulang punggung, menjalar ke ketiak, kelenjar getah bening. Tubuh mamanya bengkak sehingga cairan tubuh tidak mengalir lancar malah masuk ke paru. Beban pikiran mama mengkhawatirkan anaknya tak membuat kedaan lebih baik. Satu tahun Roy berpacaran sembunyi-sembunyi, satu tahun Roy berkelit dari papa mama, satu tahun pula sel kanker menggerogoti tubuh mama.
14 Februari tahun lalu, di saat Roy berkencan valentine, di saat itu lah mama menghabiskan nafasnya yang sudah pendek-pendek. Dia pikir mama masih punya waktu. Dia pikir, mamanya akan sembuh. Dia pikir, suatu saat nanti bisa masak lagi untuk mamanya. Sayang, hanya dalam pikir nya. Tak seperti itu kehendak pencipta.
Setelah makan, cie-cie memberesi peralatan makan. Roy duduk di sofa, memegang smartphone yang dari tadi tak disentuhnya. Membuka bbm, update status: “I Love you, Ma. I Miss you”.
----------------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H