Mercy Sarkempit, sahabat Jon Balekon di kampus dulu, biasa dipanggil Mer, wanita, 38 tahun, beranak 2 orang, tinggal di sebuah ‘town house’ Pasar Minggu. Ia bersuami seorang direktur sebuah perusahaan "trading" yang sibuknya luar biasa.
Tiap pagi jam 08.00, si Mer berangkat ke kantornya, di bilangan kota. Jam 18.00 tiba kembali di rumah. Tiap hari rutin seperti itu, kecuali Sabtu.
"Tidak capekkah kau Mer?, " tanya Jon Balekon ketika suatu saat ia mentraktir si Mer karena kangen sudah lama tidak ketemu dia. Dan itu juga sehubungan dengan keinginannya untuk mencari informasi sebagai bahan penulisan "Wanita : anugerah multidimensi alam yang luar biasa "
"Ah, biasa saja," kata Mer menjawab. "Capek sih capek kalau dirasakan. Senang ya senang mengingat kalau terus di rumah juga bosan," tambahnya.
Cerita Mer, sebagai pekerja kantor, tepatnya sebagai Manajer Keuangan, ia harus datang tepat waktu. Maklum harus meneladani anak buahnya yang kebanyakan lelaki.
Begitu tiba di kantor, ia harus memeriksa hasil pekerjaan anak buahnya yang sudah diarsipkan di sistem jaringan komputer dan dapat diakses melalui layar monitor. Sebagian lainnya berupa lembaran dokumen yang tertata rapi di atas meja.
Setelah selesai, dan itu perlu konentrasi tinggi, ia memanggil anak buahnya satu per satu untuk memberikan koreksi dan arahan untuk pekerjaan mereka selanjutnya.
Agak siang, ia harus berdiskusi dengan Direktur Keuangan mengenai kondisi "cash flow" . Sore hari, biasanya ia harus mengikuti rapat direksi untuk menentukan dana perusahaan yang ada mau diapakan.
Itulah rutinnya setiap hari. Belum lagi ia harus menghubungi beberapa bank, sumber dana perusahaan di mana ia bekerja. Dan Mer akan makin sibuk jika menjelang awal dan akhir bulan. Apalagi pada akhir atau awal tahun
Selanjutnya sebagai ibu, yang harus mendidik anak, begitu datang jam 18.00 saat suaminya biasanya belum sampai, ia harus berdialog dengan kedua anaknya. Yang satu kelas 1 SLTA dan yang satu lagi kelas 2 SLTP. Ia perlu memeriksa pelajaran mereka. Ia perlu mendengarkan pengaduan mereka jika mereka punya masalah.
Sebagai isteri, ia harus menyenangkan suami di dalam dan di luar rumah. Di dalam rumah, ia harus terlihat "ready as a wife", sebagai pacar yang menyenangkan. Di luar rumah, jika ia menemani suaminya ke pertemuan-pertemuan koleganya, ia harus terlihat anggun, segar dan bisa mengimbangi kepopuleran suaminya.
Sebagai sahabat suami, ia mempunyai tugas untuk melepaskan kepusingan yang dihadapi suaminya bila di kantor ada masalah. Sebagai wakil kepala rumah tangga, ia harus mengatur "cash flow" rumah walaupun untuk itu keluarganya sudah tak lagi menjadi masalah. Maklum keduanya bekerja dan penghasilannya sangat jauh di atas GNP rata-rata bangsa Indonesia.
Sebagai wakil kepala rumah tangga pula, si Mer tentu saja berfungsi sebagai "mandor" para pembantu yang tiga orang banyaknya. Untuk itu ia mesti memberikan pengarahan walaupun mereka masing-masing telah memiliki "job description" tidak tertulis.
Mendengar cerita Si Mer, yang sewaktu di kampus dulu termasuk aktivis organisasi, Jon Balekon seringkali berdecak "cek...cek...cek".
"Jadi wanita memang berat, sulit, susah.….. Tetapi itulah takdir dan sekaligus tantangan, Mer," kata Jon Balekon sehabis Mer bercerita.
"Takdir tak bisa disangkal. Sedangkan tantangan perlu dilalui karena di situlah derajat akan meningkat dan pada saat engkau tua Mer, bintang jasa dari anak, dari suami dan dari lingkungan akan menunggumu. Jika tantangan itu tak kau ambil, tak kamu manfaatkan dengan baik, 'cuek', umpat dan cemooh dari suami, anak dan lingkunganmu yang akan dating," kata Jon selanjutnya.
Di rumah, usai pertemuan, Jon Balekon mengkonsep tulisan tentang wanita dengan semua keluarbiasaannya multi dimensinya itu. Dan di akhir tulisannya, Jon menjelaskan " Itulah wanita. Dia makhluk Tuhan yang perlu dianugerahi bintang jasa melebihi bintang jasa nomor satu di negeri ini. Karena dengan sentuhannya, suami menjadi orang baik, anak menjadi penerus perjuangan bangsa yang cerdas dan berbudi. Sebaliknya jika sentuhannya buruk, suami dapat menjadi koruptor dan anak akan menjadi sampah bangsa"
Iseng-iseng, malam itu Jon Balekon menyusun sebuah puisi khusus untuk seorang wanita yang telah menjadi ibu.
BERAT SENANG SANG ISTERI
Sungguh berat sang isteri,
selagi jiwanya diserbu oleh fasik dan takwa,
yang selalu datang kapan saja,
ia mesti merangkum semua
agar
tidak sekadar menjadi ibu anak-anak,
agar
tidak sekadar menjadi anak bagi orang tua suami dan dirinya sendiri,
agar
tidak sekadar menjadi saudara bagi keluarga suami dan dirinya sendiri
agar
tidak sekadar berhias, belanja dan mengatur rumah tangga
agar
tidak sekadar bekerja terpaksa atau karena kemauan dirinya sendiri,
agar
tidak sekadar menjadi isteri, kembang dan kekasih suaminya,
agar
tidak sekadar terminal cinta terakhir tapi juga yang pertama bagi suaminya,
agar
tidak sekadar tahu dan menghayati namun juga menyertai gejolak hati suami,
Sungguh senang sang isteri,
saat jiwanya sudah melepas keluh, kesah, berat dan susah,
saat jiwanya sudah dikawini oleh penyejuk hati,
saat jiwanya sudah menyerap semua pemahaman,
bahwa dengan memberi dan memberilah maka ia akan diberi,
baik di jagad sini maupun di akhirat sana.
Jon Balekon terharu sendiri setelah usai membacanya. “Mudah-mudahan berhasil menjalankan peranmu, wahai kaum wanita!” gumamnya dalam hati.
Malang, 21 April 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H