Mohon tunggu...
Sastrawan Batangan
Sastrawan Batangan Mohon Tunggu... -

Sastrawan Batangan, yang lahir di Surabaya, pernah mukim di Surabaya, Malang, Bogor, Jakarta, Depok dan Cibinong. Hobi waktu senggangnya antara lain adalah membaca berbagai tulisan tentang kehidupan serta menulis puisi, artikel dan cerita berbasis makna hidup dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sumatera di Paris Pancasila di Jerman

15 April 2015   12:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:04 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah suatu saat, sewaktu naik pesawat Jakarta-Surabaya, Jon Balekon duduk di dekat jendela. Dua tempat duduk di sebelahnya ditempati oleh seorang pemuda dan seorang pemudi, usia duapuluhan.

Si pemuda gagah, tampan dan berkumis rapi. Si pemudi, langsing, seksi, cantik, manis dan berbibir tipis tanpa lipstik. Itu bibir, amboi..... Jon Balekon sulit membayangkan, hanya berterima kasih -dalam hati - kepada Sang Pencipta Hidup bahwa dia memiliki mata yang bisa menyaksikan keindahan dan berharap agar mata itu memberi manfaat positif.

Si pemuda, yang persis duduk di sebelah Jon Balekon, mengenalkan namanya kepada si pemudi. Si pemudi, sambil tersenyum kecil, menjulurkan tangannya, menjawab, " Nama saya Bettina van Sopongiro".

Mereka lalu berbincang-bincang. Tentang skedul pesawat, tentang musik, tentang olahraga, tentang macam-macam.

Makin akrab dan mereka pun makin asyik berbincang. Dan ketika sang pemuda menanya si gadis dari mana asalnya, apakah Jawa, apakah Sumatera, apakah Sunda, si Bettina menggeleng.

"Susah untuk menyatakan. Lha wong nenek saya dari pihak ibu adalah blasteran Cina-Belanda. Kakek saya dari pihak ibu campuran Jawa-Bali. Kakek saya dari pihak ayah berdarah Inggris-India. Nenek dari pihak ayah turunan Arab-Gujarat," kata si gadis.

Si pemuda melongo mendengar jawaban itu. Sementara si Jon Balekon tersenyum tetapi malu kalau ketahuan mencuri dengar. Dan agar tidak ketahuan, Jon Balekon pura-pura tidur. Di kala tidur inilah pikirannya berkelana mengingat Adam, manusia pertama di muka bumi.

Seingat Jon Balekon, anak-anak Adam kawin dengan saudara sekandung mereka sendiri. Tidak tabu menurut adat dan tidak dosa menurut agama pada waktu itu. Lha kalau tidak seperti itu, lalu kawin dengan siapa lagi?

Kalau tidak seperti itu, Jon Balekon dan manusia zaman sekarang ini tidak mungkin ada. Jadi sudah sepantasnyalah Jon Balekon dan manusia zaman sekarang berterima kasih kepada Adam dan Hawa yang mengawinkan anak-anaknya.

Kemudian pada zaman cucu Adam, perkawinan tidak lagi antar saudara kandung, namun antar saudara sepupu. Perkawinan antar saudara kandung sudah tidak dibolehkan lagi. Sudah tabu, sudah dianggap dosa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun