Tak semua pelatih bisa berkesempatan menukangi klub besar. Karena dengan menukangi klub besar, berarti besar pula peluang untuk meraih gelar juara. Makanya ketika kesempatan itu tiba, si pelatih takkan menyia-nyiakannya. Sebab kehebatan pelatih tidak cukup dilihat dari seberapa enak permainan timnya ditonton, tapi seberapa banyak timnya mampu meraup prestasi. Percuma tampil aktraktif, tapi tidak juara. Kau akan dikenang jika jadi pemenang.
Makanya mungkin banyak pelatih yang berpuluh tahun menukangi klub kecil dan menengah, yang iri dengan Andrea Pirlo. Belum banyak pengalaman kerja dan baru saja menangani tim muda, tapi sudah diberi kepercayaan tim senior Juventus yang notabene adalah klub besar di Eropa. Memang sih Pirlo itu mantan gelandang hebat Italia yang dikenal jenius di lapangan saat masih aktif bermain. Tapi itu belum tentu jaminan bukan. Tanyakan itu pada mantan kolega Pirlo di AC Milan dulu yang kini juga terjun sebagai pelatih: Gennaro Gattuso, Clarence Seedorf, Filippo Inzaghi, sampai Alessandro Nesta.
Sekarang kita lihat Roberto De Zerbi. Tak kenal? Ya, karena dia cuma melatih tim sekelas Sassuolo. Tapi jangan salah, dibawah racikan De Zerbi, Sassuolo tampil menyerang dan kerap menyulitkan klub-klub besar. Andai De Zerbi diberi kesempatan melatih klub besar, kita tidak tahu potensi hebat apa yang bisa ia berikan.
Pelatih disebut pecundang, jika sudah diberi kesempatan melatih klub besar tapi tidak bisa memberikan gelar. Entahlah, apakah Stefano Pioli masuk kategori ini. Ia pernah melatih Inter Milan pada musim 2016-17. Namun diakhir musim, Nerazzuri hanya bercokol di posisi tujuh. Lalu giliran rival sekota, AC Milan yang memperkerjakan lelaki plontos itu pada 9 Oktober 2019. Kedatangan Zlatan Ibrahimovich pada transfer Januari 2020 memberi tuah kepada Rossoneri sekaligus menyelamatkan karir Pioli. AC Milan yang luluh lantak diputaran pertama Serie-A, tiba-tiba tampil beringasan diputaran kedua hingga mampu menyelesaikan musim di urutan enam. Â Lalu keajaiban diteruskan di musim 2020-21 hingga bisa menjadi juara paruh musim. Tapi naasnya, diputaran kedua pasukan Pioli kehabisan tenaga dan harus rela disalip Inter Milan yang akhirnya merebut gelar scudetto musim ini.
Setali tiga uang dengan David Moyes. Membesut klub Everton dalam periode lama (2002-2013), ia digadang-gadang akan menjadi pelatih top. Tak heran atas rekomendasi Sir Alex Ferguson sendiri, Moyes ditunjuk melanjutkan tongkat estafet kepelatihan di Manchester United begitu sang legenda mundur pada Mei 2013. Namun apa yang terjadi? Moyes tak kuasa dengan tanggung jawab besar itu. MU yang merupakan juara bertahan secara memalukan malah terjun bebas ke posisi tujuh dan gagal lolos ke kompetisi Eropa. Hanya sepuluh bulan bekerja, ia pun dipecat. Kini Moyes membangun reputasinya kembali bersama West Ham United.
Dulu lebel pelatih pecundang itu melekat pada diri Claudio Ranieri. Melatih banyak klub besar Eropa (seperti Chelsea, Juventus, AS Roma, sampai Inter Milan) tapi jarang berprestasi. Tapi begitu tiba-tiba ia mampu membawa Leicester City menjuarai Premier League 2015-16, ejekan pun berubah jadi puijian kekaguman. Bagaimana tidak, Leicester itu bukan klub apa-apa dan tidak diperhitungkan di Inggris. Namun hebatnya bisa merusak dominasi The Big Six (Manchester United, Liverpool, Manchester City, Chelsea, Arsenal, dan Tottenham Hotspur). Tragisnya, semusim kemudian sang pahlawan dipecat karena performa Leicester yang buruk. Kini Ranieri menjadi pelatih Sampdoria.
Sorotan besar sekarang ada pada Gian Piero Gasperini. Atalanta, yang tadinya hanya klub papan tengah Serie-A, dalam tiga musim terakhir disulapnya menjadi tim yang menakutkan di Eropa. Permainan mereka yang menyerang bikin ketar ketir lawan. Atalanta ditangan Gasperini bukan lagi tim yang dipandang remeh di Italia. Lolos ke Liga Champions untuk pertama kali dalam sejarah klub pada musim 2019-20, mereka bukan jadi penggembira. Tidak hanya lolos sebagai runner-up Grup C, tapi mereka mampu melaju ke babak perempat final sebelum dihentikan oleh PSG.
Di Liga Champions musim 2020-21 musim ini, Atalanta menjadi runner-up Grup D dibawah Liverpool. Partisipasi mereka sampai ke babak 16 besar karena takluk dari Real Madrid. Hal yang tidak bisa dilakukan Antonio Conte bersama Inter Milan.
Bicara soal Inter Milan, Gasperini pernah melatih klub tersebut pada tahun 2011. Namun apesnya hanya tiga bulan. Ia langsung dipecat setelah rentetan hasil buruk dalam lima laga (4 kalah, 1 seri) diawal musim. Mungkin sekarang saatnya Gasperini menunjukkan bahwa dirinya bukan termasuk kategori pelatih pecundang dengan cara berprestasi bersama Atalanta. Didepan sudah menunggu final Piala Italia lawan Juventus. Pelatih hebat harus punya raihan gelar prestius dalam catatan karir manajerialnya.
(Bangka, 4 Mei 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H