Mohon tunggu...
Leo Christianto
Leo Christianto Mohon Tunggu... Lainnya - Leo

No comment

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Antara Kerinduan dan Mimpi

5 April 2019   11:08 Diperbarui: 5 April 2019   11:49 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak manusia yang begitu benci pada kerinduan. Pada patah hati. Pada sesuatu yang membuat mereka menangis tersedu-sedu dan menyesali segala sesuatu yang telah terjadi. Membuat mereka dengki. Membuat kita merasa bersalah. Membuat kita dan mereka, rela untuk membagi-bagikan kegelisahan itu dengan seharga rasa sakit hati yang bertubi-tubi.

Kerinduan memang selalu membuat gelisah. Tak terbendung, kenangan indah muncul tiba-tiba dengan sendirinya tanpa diperintah. Dalam kamar yang gelap, Ia terang-benderang seolah minta untuk diingat, disetiap kali lelah datang dan memanggil. Sendiri dan menangis, di atas kasur tanpa Si Dia yang cuma bisa datang hanya lewat mimpi.

Namun, Aku selalu menganggap bahwa kerinduan selalu mendatangkan ketenangan. Semakin rindu semakin cinta. Seperti kolong-kolong jembatan yang dihuni oleh banci-banci kesepian, meskipun tanpa penerangan. Karenanya, Aku tak pernah merasa gelisah. Walau tak juga merasa tenang. 

Dalam kesadaran mimpi yang gamang, yang tersisa tinggal kekosongan. Badan kering kerontang. Namun, bisikkan-bisikkan kerinduan itu begitu jelas terdengar. Begitu dekat dan harum, sehingga aroma nafasmu begitu jelas dan nampak adanya.

Mungkin karena itulah Aku selalu merindukanmu. Dalam gelap gulita. Dalam terang benderang. Cinta memang membutakan. Tapi Aku tak butuh sesuatu yang terang, supaya aku bisa melihat dikala gelap menyerang.

 Tak perlu menutup mata dan hati untuk yang lain, demi sebuah alasan, ataukah hanya untuk sekadar melupakanmu, karena kamu memang terlalu indah untuk dilupakan. Aku sangat mencintaimu, dan hanya mencintaimu, titik!.

Mungkin ini yang dinamakan rindu setengah mati. Tapi, aku tak begitu peduli. Karena buatku, cinta ya cinta, rindu ya rindu. Itu saja cukup. Tak perlu ada embel-embel yang lain selain daripada itu. 

Karena denganmu, aku bisa melihat keindahan. Aku bisa mencium apa yang ingin aku cium, dan aku bisa memeluk apa yang ingin aku peluk. Dengan hangat dan penuh rasa syukur.

Disaat-saat seperti itu, dalam kegelapan yang terang-benderang itu, aku tak perlu mencari-cari di mana kamu. Tak perlu berpikir yang muluk-muluk tentang hari esok yang lebih baik daripada hari ini, atau hari kemarin yang lebih baik daripada hari esok. Perihal, apakah benar aku lebih bahagia di hari ini?. Ataukah aku lebih bahagia di hari esok?. Toh, di hari kemarin, aku juga sudah cukup bahagia, kok!. Walau terkadang keindahan itu memang suka ternodai oleh bisikkan-bisikkan tidak puas yang berasal dari dunia luar.

Sayup-sayup merdu dari para tetangga yang kurang berkenan dan celotehan-celotehan sumbang dari rekan-rekan yang seharusnya tak pantas disebut sebagai teman. Irama-irama yang mendayu itu perlahan mengganggu. 

Tak kusadari, ketika aku terbangun dari tidur, maka berakhirlah keindahan itu. Keindahan yang kata mereka hanyalah sebuah mimpi belaka. Khayalan kosong yang tak berfaedah. Cuma dosa semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun