"Membunuh tidak dibenarkan dalam budaya kita," bujuk teman-teman Rio. "Apalagi terhadap individu-individu yang tidak melakukan perlawanan."
Acho yang dimaksud pastilah sedang bersembunyi di tempat-tempat pengungsian yang dijaga ketat.
"Kalian pikir aku tolol?" sela Rio. "Apa kalian tidak tahu kalau Si Acho lah biang dari kerusuhan ini."
Teman-temannya terdiam. Lantas mereka berpendapat bahwa selama yang dia bunuh itu bukan penduduk asli mereka tak peduli.
"Oke, sekarang tolong kalian katakan di mana Acho bersembunyi," kata Rio meledak-ledak. Â "Kalau ketemu akan kupotong kepalanya."
Sayangnya, tidak ada yang tahu.
"Terserahlah," ujar Rio lagi. "Cepat atau lambat, aku pasti akan membunuhnya. Biar kucari dia sendiri."
Teman-teman itu memarahi Rio. Dalam keadaan kacau seperti itu, dia tidak bisa pergi seenaknya. Bersama teman-temannya, dia masih harus menjarah toko-toko yang belum terbakar dan menginterogasi siapa saja yang masih berkeliaran di jalan-jalan. Tak ada seorang pun yang peduli dengan keberadaan Acho.
"Baiklah, mungkin kalian belum ada yang tahu ...," bentak Rio. Teman-temannya setengah hati mendengarkan ocehan satu pria itu.
Rio kesal. "Kalian harus tahu siapa Si Acho ini. Dia itu betul-betul manusia yang biadab. Lebih biadab dari semua pendatang yang tersebar di kota ini. Kalau sampai kalian berhasil menemukannya, serahkan saja dia kepadaku. Akan kubunuh dia dengan tanganku sendiri!"
Namun, lagi-lagi tak satu pun di antara mereka yang tahu ataupun peduli dengan keberadaan Si Acho.