Mohon tunggu...
Leo Christianto
Leo Christianto Mohon Tunggu... Lainnya - Leo

No comment

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tuan Kesepian

6 Februari 2019   13:53 Diperbarui: 6 Februari 2019   15:06 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Belum ada," jawabnya.

Kata Bapaknya, "Apa perlu Bapak carikan?"

Tuan Kesepian mendengus. Kentara ia tidak nyaman dengan tawaran yang merendahkan kemampuannya, "Tidak usah. Saya bisa cari sendiri."

Lain lagi kata adiknya, "Halah, dasar bencong!"

"Diam, Kau, jahanam!" Kutuknya dengan penuh dendam.

Sayangnya, Tuan Kesepian tidak pernah sekalipun keluar dari kamar kos-nya, bahwa ia bangkit berdiri hanya untuk sekadar mencari segayung air di kamar mandi pembasuh muka dan menggosok gigi.

Sepanjang hidup, Tuan Kesepian memendam begitu banyak kebencian pada saudaranya. Bagaimana bisa, ia dilahirkan begitu tampan, juga populer, dan digilai banyak gadis remaja? Jawabannya, apalagi kalau bukan dengan perawakan berotot nan atletis, serta hidung mancung, kulit putih dan senyum menawan yang sanggup melelehkan hati setiap orang? Kesempurnaan yang selalu dikhayal-khayalkan oleh Si Tuan Kesepian.

Sementara Si Tuan Kesepian tak lebih dari seorang kutu buku buruk rupa yang tak punya teman. Di sekolah, Ia juga selalu diejek karena penampilannya yang culun dan pemalu. Itu sebabnya, ia tidak pernah mau datang dalam setiap undangan acara-acara reuni. Ia pikir, reuni hanya akan menjadikan dirinya bahan olok-olokan. Dia berharap bahwa jalannya takdir suatu saat akan berpihak kepadanya.

Di usia muda Tuan Kesepian tidak bisa mendapatkan apa yang dia mau. Tapi Dia selalu bersyukur. Maka apa yang akan dilakukan dunia terhadapnya, selain memberikan kesedihan dan penderitaan, lalu perlahan-lahan mengantarkannya kepada gerbang kesuksesan?

Dia tidak juga menikah, tapi pada masa lalu ia memiliki karier yang bersinar menyilaukan. dengan penghasilan yang tinggi, yang memungkinkannya untuk menumpuk kekayaan yang menggunung. Uang bukan lagi jadi masalah untuk memenuhi kebutuhannya. Adalah royalti beratus-ratus juta yang dihasilkan dari pekerjaannya sebagai seniman sastra. Sebuah profesi yang dianggap oleh kedua orangtuanya sebagai hobi yang sia-sia dan buang-buang waktu saja.

Tidak seperti saudaranya yang bekerja sebagai pegawai negeri yang meskipun bergaji rendah, namun menjamin kesejahteraan sampai di hari tua. Dengan catatan, jika berhasil memasuki masa pensiun dengan pangkat setingkat jenderal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun