Mohon tunggu...
Sastra Jendra H
Sastra Jendra H Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiwa KKN UNDiP

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Mahasiswa Undip Menemukan Cara Pengolahan Sampah Organik Menggunakan Bakteri Reuse

8 Agustus 2021   11:52 Diperbarui: 8 Agustus 2021   17:25 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dok. Pribadi) Tumpukan Sampah

Semarang (04/08/2021), Sampah merupakan permasalahan yang hingga kini masih belum teratasi dengan baik. Bahkan di era pandemi ini, berbagai jenis sampah terutama limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) ikut diangkut dan dibuang setiap harinya pada tempat pembuangan akhir. 

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengakui bahwa pada 2020 total produksi sampah nasional telah mencapai 67,8 juta ton. Artinya, ada sekitar 185.753 ton sampah setiap harinya dihasilkan oleh 270 juta penduduk. Atau setiap penduduk memproduksi sekitar 0,68 kilogram sampah per hari.

 Pada tahun 2017, produksi sampah per hari yang cukup tinggi dihasilkan oleh Surabaya sebesar 9.896,78 m3 dan disusul dengan Jakarta sebesar 7.164,53 m3. 

Bahkan diduga bahwa pada tahun 2025, penduduk perkotaan akan menghasilkan sampah sebesar 1,42 kg per orang per hari. Sampah tersebut terbagi menjadi tiga yaitu sampah organik, sampah anorganik, dan sampah B3 (Bahan Berbahaya Beracun).

Sampah makanan dan bahan organik lainnya merupakan salah satu jenis sampah yang banyak dihasilkan dari masyarakat. Sisa pengolahan dan konsumsi makanan yang tidak habis akan dibuang dalam bentuk sampah organik. Sampah organik ini sering disepelekan karena dianggap dapat terurai dengan sendirinya. 

Padahal, jika sampah organik ini memasuki aliran air maka sampah ini akan dapat mengurangi jumlah oksigen pada perairan dan mendorong pertumbuhan organisme berbahaya. 

Permasalahan ini merupakan permasalahan yang cukup memberikan dampak signifikan pada kerusakan lingkungan hidup. Oleh karena itu, permasalahan terkait sampah, khususnya sampah organik harus ditangani dengan tepat dan cepat. 

Hal ini juga tertuang dalam target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) nomor 12 tentang Memastikan Pola Konsumsi dan Produksi yang Berkelanjutan yang mana pada ayat 3 menyatakan bahwa pada tahun 2030, mengurangi separuh jumlah dari sampah pangan global perkapita pada tingkat retail dan konsumen dan mengurangi kerugian makanan sepanjang produksi dan rantai penawaran, termasuk kerugian paska panen adalah salah satu tujuan dari SDGs 12 ini. 

Pemerintah Indonesia pun turut serta merealisasikan target ini melalui Perpres 97 tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (SRT) dan Sejenis Sampah Rumah Tangga (SSRT). 

Lalu bagaimana peran aktif kita untuk dapat mengurangi jumlah sampah organik ini? Langkah pertama yang dapat kita lakukan ialah mengurangi jumlah makanan yang terbuang dengan cara makan dalam porsi yang cukup. 

Memakan makanan dalam jumlah porsi yang besar namun tidak dihabiskan akan membuat makanan sisa terbuang sia-sia. Oleh karena itu, penting untuk membatasi jumlah makanan yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan.

Langkah lainnya yang dapat kita lakukan untuk mengurangi jumlah sampah organik ialah melakukan pengolahan terhadap sampah itu sendiri, salah satunya dalam bentuk pupuk organik. 

Pupuk merupakan zat yang ditambahkan pada media tanam dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan hara tanaman sehingga mampu bereproduksi dengan baik. Klasifikasi pupuk dapat dibedakan berdasarkan pembentukannya (pupuk buatan atau alami), kandungan unsur hara (pupuk tunggal atau majemuk), dan susunan kimiawinya (pupuk organik atau anorganik). 

Pupuk organik merupakan pupuk yang memiliki bahan dasar atau material pembentuk berupa senyawa organik yang dihasilkan dari sisa jaringan tanaman atau tumbuhan dan hewan.

Pembuatan pupuk organik dari sampah sisa makanan merupakan hal yang mudah dilakukan. Dengan alat dan bahan seadanya, pupuk sudah bisa dibuat dengan hasil yang maksimal. 

Hal ini merupakan salah satu kegiatan yang disosialisasikan oleh mahasiswa KKN tim II Universitas Diponegoro 2020-2021 di Kelurahan Pedalangan, Kecamatan Banyumanik, Semarang. 

Mahasiswa Undip sosialisasikan pembuatan pupuk organik dengan bioaktivator mangrove. (sumber: Dok. Pribadi) 
Mahasiswa Undip sosialisasikan pembuatan pupuk organik dengan bioaktivator mangrove. (sumber: Dok. Pribadi) 

Berbekal baskom, larutan air, Reuse pengurai kompos, dan sampah organik, pupuk organik siap untuk dibuat. Reuse pengurai kompos merupakan salah satu bioaktivator yang menyediakan bakteri pengurai untuk mengubah sampah menjadi kompos. 

Reuse itu sendiri berisi sekumpulan bakteri konsorsium serasah mangrove. Konsorsium bakteri ialah gabungan beberapa populasi mikroba yang telah diketahui memiliki hubungan kooperatif, komensal, dan mutualistik. Bakteri konsorsium serasah Mangrove pada Reuse terdiri dari empat genus bakteri yaitu Bacillus sp., Pseudomonas sp., Flavobacterium sp., dan Acinetobacter sp.

Untuk membuat pupuk, sampah organik seperti daun atau lainnya yang cukup besar harus dipotong terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk mempercepat pembusukan sehingga waktu penguraian akan lebih cepat. Sampah lalu dimasukkan ke dalam ember atau tempat lainnya yang tertutup dari sinar matahari. 

Setelah itu, lakukan pengenceran ditambahkan larutan air dengan Reuse yang bertakaran 1:25. Campuran kemudian ditutup rapat dengan penutup dan disimpan supaya tidak terkena sinar matahari. Pupuk kompos akan terbentuk dalam waktu sekitar 14 hari.

Setelah menjadi pupuk organik, hasil pengolahan tersebut bisa langsung dipakai untuk menyuburkan tanaman ataupun dijual kembali. Pupuk organik yang sudah jadi tersebut juga dapat ditambahkan ke dalam bahan campuran untuk membuat pupuk organik berikutnya. 

Pupuk yang sudah jadi ini akan mempercepat proses dekomposisi. Dekomposisi adalah proses penghancuran bahan organik yang berasal dari hewan dan tanaman menjadi senyawa-senyawa organik sederhana oleh mikroorganisme tanah (bakteri, fungi dan hewan tanah lainnya). Proses ini merupakan proses yang penting dalam penguraian sampah menjadi pupuk organik. 

Penulis: Sastra Jendra Hayuningrat, Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun