Pilkada bukan sekadar seremonial lima tahunan yang berakhir dengan penghitungan suara dan pengucapan sumpah jabatan. Pilkada adalah saat di mana arah dan nasib suatu daerah ditentukan untuk jangka panjang. Sayangnya, banyak masyarakat yang masih memandang enteng proses ini. Mereka memilih calon bukan berdasarkan rekam jejak, visi, atau kapasitas, melainkan berdasarkan sentimen emosional, janji kosong, atau bahkan uang receh dalam amplop. Â
Politik Transaksional: Awal Bencana
Dalam setiap pilkada, fenomena politik transaksional sering kali menjadi momok. Amplop berisi uang, sembako, atau janji proyek kecil-kecilan menjadi senjata ampuh untuk menggaet suara. Masyarakat yang tergiur dengan iming-iming sesaat ini sering lupa bahwa masa jabatan lima tahun jauh lebih panjang dibandingkan keuntungan sekejap dari amplop itu. Â
Ketika calon yang tidak kompeten akhirnya terpilih, rakyatlah yang menanggung akibatnya. Jalan tetap berlubang, pelayanan publik semakin buruk, dan pembangunan terhenti. Pada akhirnya, masyarakat sendiri yang harus berjuang keras untuk pulih dari keterpurukan yang disebabkan oleh keputusan mereka sendiri. Â
Pemimpin adalah Cermin Rakyat
Ada ungkapan bijak yang mengatakan, "Pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya." Jika masyarakat memilih pemimpin yang korup atau tidak kompeten, maka itu adalah refleksi dari kelalaian mereka dalam memahami tanggung jawab memilih. Pemimpin yang buruk bukan hanya merugikan secara langsung, tetapi juga meninggalkan dampak jangka panjang yang sulit diperbaiki, seperti korupsi sistemik, utang daerah yang membengkak, hingga hilangnya kepercayaan terhadap demokrasi. Â
Belajar dari Kesalahan
Di berbagai daerah, ada banyak contoh nyata bagaimana salah pilih pemimpin membawa kesulitan berkepanjangan. Infrastruktur yang dijanjikan tidak kunjung terwujud, pelayanan kesehatan dan pendidikan merosot, dan ketimpangan ekonomi semakin parah. Bahkan setelah masa jabatan usai, dampaknya tetap terasa, dan butuh waktu lama untuk memperbaiki apa yang telah dirusak. Â
Masyarakat harus belajar dari pengalaman ini. Pilihan yang keliru bukan hanya merugikan mereka secara individu, tetapi juga generasi mendatang. Menyalahkan pemerintah setelah salah memilih adalah tindakan sia-sia. Sebab, kekuasaan memilih ada di tangan rakyat sejak awal. Â
Kesadaran Kolektif adalah Kunci
Pemilu atau pilkada bukan hanya soal siapa yang menang, tetapi juga soal kualitas pemilih. Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran politik mereka. Pilihan harus didasarkan pada pemahaman mendalam tentang visi-misi calon, rekam jejak, dan kapasitas mereka untuk memimpin. Jangan terjebak pada politik identitas, janji-janji manis, atau kebencian terhadap lawan politik. Â
Setiap warga memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa pilihannya bukan hanya baik untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masyarakat secara keseluruhan. Jika salah pilih, daerah tidak hanya kehilangan waktu lima tahun, tetapi mungkin juga kehilangan kesempatan untuk maju. Â
Pesan untuk Rakyat
Rakyat adalah pemegang kendali sesungguhnya dalam demokrasi. Pilihan yang tepat akan membawa daerah ke arah yang lebih baik, sedangkan pilihan yang salah akan membawa kesulitan yang berkepanjangan. Jika kita ingin daerah kita maju, aman, dan sejahtera, maka proses memilih pemimpin harus dilakukan dengan cermat dan penuh tanggung jawab. Â
Ingatlah, salah pilih susah pulih. Jangan sampai kita menyesali keputusan yang kita buat, karena perubahan tidak dimulai dari mereka yang berkuasa, tetapi dari kita yang memilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H