Mohon tunggu...
An.Sastra
An.Sastra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Membakar Api

23 Oktober 2024   22:39 Diperbarui: 24 Oktober 2024   16:13 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
membakar api - (dokpri - AN Sastra) 

Surat Balarama 2 untuk Asamara Renjana - Membakar Api (Asmara Renjana)


Kepada Renjana,  
Dalam gelap yang kian merangsek, kutulis untukmu.

Antahbrantah macam apa ini, kekasihku? Seakan semesta menghambur janji palsu pada kita. Di antara lorong takdir yang licik, kutemukan kita seperti debu yang diterbangkan angin musim yang menggigil. Lihatlah, dunia memelintir kita dalam jerat tak kasat mata, menggulung cinta kita dalam kilatan dendam waktu.

Dunia ini, Renjana, seakan bersetubuh dengan kekejaman. Setiap langkah yang kita tapaki, setiap benih rindu yang kita tanam, disabit sebelum sempat berbuah. Nasib, oh nasib keparat, tertawa di balik bayang-bayang hitam, memintal takdir seakan tali gantungan bagi jiwa-jiwa kita yang menggelepar.

Apa yang kau dan aku lakukan pada takdir hingga ia bersikap bak algojo tak berperasaan? Apa dosa kita hingga dunia ini tak memberi celah bagi cinta kita untuk bernapas dalam damai? Seperti burung yang dipotong sayapnya, kita terjerembap di tanah, menatap langit tanpa daya. Cinta kita, bagai bunga di gurun pasir yang kehausan, dihujani dengan racun dari langit.

Asmara Renjana kekasihku, tidakkah kau dengar dunia sedang mengunyah harapan kita, melahap mimpi-mimpi yang kita anyam bersama? Aku marah. Marah pada hari-hari yang lewat begitu saja, pada waktu yang tak berhenti mempermainkan kita, pada nasib yang semakin menggila. Aku adalah petir yang tak berakar, murka tanpa henti yang takkan pernah padam. Dan kau, kau adalah renjana yang terbakar dalam kobaran ini, namun tak pernah mampu padamkan dendam dalam hatiku terhadap dunia.

Asmara Renjana kekasihku, kita bagai lautan dan langit yang tak pernah bertemu. Selalu di bawah tatapan bintang, selalu di atas hamparan ombak. Apa ini takdir kita? Sebuah lelucon murahan dari tangan-tangan keji yang menuliskan hidup kita di buku nasib yang penuh coretan tak beraturan?

Baca juga: Mekar untuk Gugur

Antahbrantah macam apa ini? Bagaimana bisa para dewata tega melaknat kita, dengan segala caranya setelah rapat para dewata membicarakan kita. kejam sekali mereka memutuskan kehendak tanpa mau membaca narasi yang sudah dewata tinggi tuliskan pada punggung kita. 

Asmara, semesta menghukumu, mematahkan hatimu. kabar itu tersiar dari bumi yang mengisaratkan tangismu. Aku murka pada semua, mengapa hukuman itu tidak di berikan padaku saja, kenapa? ah Asmara, kini aku berdiri di antara semesta dengan murka yang melebihi luas semesta, kelak akan aku tantang hukum semesta dengan segala murkaku. 


Asmara Renjana kekasihku, jika dunia adalah musuh, maka aku akan melawannya. Jika nasib adalah belenggu, aku akan mematahkannya. Dan jika semesta memang mempermainkan kita, biarkan aku, dengan segala murkaku, meruntuhkan bintang-bintang yang mengawasi dari kejauhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun