(Surat dari Balarama untuk Asamara Renjana)
Asmara Renjana kekasihku yang jauh, namun tak pernah benar-benar terpisah,
Aku menulis surat ini dalam sunyi malam yang tak bertepi, saat rindu menguap seperti embun yang menggantung di langit kelam. Di dalam setiap kata, ada sejumput kerinduan yang terperangkap, seakan kata-kata ini adalah jaring yang menangkap setiap desahan perasaan yang tak bisa kusampaikan langsung padamu.
Jarak, kekasihku, adalah sesuatu yang kini menjadi jurang tak kasat mata di antara kita, merentang di antara kita seperti sungai deras yang tak bisa kuseberangi. Namun, di balik jarak yang menyiksa ini, ada cinta yang tetap membara, tak pernah padam.
Aku merindukanmu, seperti bumi merindukan hujan di musim kering. Seperti api yang terus membakar meski tak ada bahan bakar yang mendekat. Setiap pagi yang kutemui tanpa kehadiranmu adalah pagi yang kehilangan warnanya.Â
Setiap malam yang kulalui tanpa suaramu adalah malam yang terasa lebih sunyi dari biasanya. Bibir ini, kekasihku, merindukan lumatan bibirmu, merindukan kelembutan yang dulu sering kita bagi.
Namun kini, semua itu hanya tersisa dalam ingatan yang kuputar berulang kali, seperti film yang tak pernah selesai.
Asmara Renjana kesasihku, bukan sekedar bara yang membakar. Ia telah menjelma menjadi api abadi, yang tetap berkobar dalam diriku meski bibir kita tak lagi bertaut.
Seperti malam yang ditelan kesunyian, aku hanya bisa mencium jejakmu dalam bayangan dan mengirimkan doa-doa lirih yang tak kau dengar, tapi kutahu sampai kepadamu. Ada perih yang menjalar setiap kali aku menyadari bahwa jarak ini seakan memeluk kita lebih erat dari pada kita bisa memeluk satu sama lain.
meski bibir kita tak lagi bisa bersatu, doaku selalu menemanimu. Setiap malam, dalam keheningan doa yang terucap dalam hati, aku menyelipkan namamu di antara harapan-harapanku.