Bab 5 - Mekar Untuk Gugur (Asmara Renjana)
Dalam pelukan senja yang membara, Balarama melangkah keluar dari rumahnya, menantang bayang-bayang kesunyian yang menjalar seperti akar pohon tua. Langit yang menghamparkan warna jingga dan ungu bagaikan lukisan emosi yang merayakan transisi antara terang dan gelap, menyiratkan bahwa malam akan segera menggenggam dunia.
Setiap langkahnya terasa seperti ketukan pintu menuju sesuatu yang tak terduga, jantungnya berdebar kencang, merasakan tarian harapan dan ketakutan beradu dalam harmoni yang penuh makna. Dia tahu bahwa pertemuan dengan Asmara dengan segala kerentanan dan kebisuannya adalah langkah yang tak terhindarkan, sebuah perjalanan untuk mengurai benang-benang kusut di dalam hati dan menemukan cahaya di balik kabut ketidakpastian.
Dalam momen-momen itu, Balarama merasakan bahwa langkahnya bukan hanya sekadar fisik, tetapi juga sebuah pengabdian kepada cinta yang tak pernah padam meskipun samar bewarna abu-abu, menyiapkan diri untuk menyambut segala kemungkinan yang akan datang.
malam telah berlalu, pagi kembali menghadirkan keraguan pada Balarama, namun dengan keyakinanya ia melangkah dengan keberanian menuju taman tempat balarama dan asamara renjana sering menghabiskan waktu bersama.
Ketika ia tiba di taman yang menjadi saksi bisu cinta mereka, Balarama melihat Asmara sudah berada disana, duduk di bangku kayu, wajahnya tertunduk, seolah sedang berbicara dengan bayang-bayangnya sendiri. Sinar senja menyentuh wajahnya, menyoroti kesedihan yang terpendam. Balarama merasakan tarikan emosional yang kuat, rasa rindu dan cinta yang terperangkap di dalam dadanya.
"Asmara," panggilnya, suaranya nyaris bergetar. Asmara mengangkat wajahnya, dan dalam tatapan itu, Balarama melihat seribu pertanyaan, seribu ketakutan. Dia melangkah lebih dekat, merasakan jarak di antara mereka, jarak yang tercipta oleh kebisuan dan kesalahpahaman.
"Aku rindu," ucap Balarama lagi, kali ini lebih yakin. "Rindu suara hatimu, rindu tawa yang pernah membuatku merasa hidup."
Asmara terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Balarama. Kemudian, perlahan-lahan, bibirnya mengulas senyuman yang samar. "Aku pun rindu, Balarama. Rindu saat-saat kita berbagi cerita tanpa takut kehilangan, namun...." kata-kata itu terhenti, seakan tak kuasa untuk melanjutkanya.
Mereka terdiam, namun kali ini, diam itu terasa berbeda. Ada kehangatan yang menyusup, mengalir melalui jarak yang sempat memisahkan mereka. Balarama mengambil napas dalam-dalam, memberanikan diri untuk menyelami ketidakpastian ini.