"Mungkin," pikirnya, "aku benar-benar gagal memahami kesepianya."
Sementara itu, di tempat lain, Asmara duduk sendiri di kamarnya, menatap kosong pada secarik surat yang belum ia kirimkan. Surat itu berisi kata-kata yang ia tulis dengan penuh keraguan, mencoba merangkai perasaan yang selama ini ia simpan rapat-rapat di dalam dirinya. Ia ingin bicara, ingin menjelaskan, tapi selalu ada sesuatu yang menahannya.
Kebisuannya telah menjadi penjara, dan ia tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana. Setiap kata dan kalimat seakan tidak bisa menggambarkan betapa sunyinya hatinya selama ini.
Asmara memejamkan mata, membiarkan ingatan tentang Balarama kembali menghampirinya.
Ia teringat pada cara Balarama tersenyum, pada suaranya yang lembut saat membaca puisi, pada kehangatan yang selalu hadir setiap kali mereka bersama.
Namun, semakin lama ia mengingat, semakin dalam rasa bersalah menghantam hatinya. Asmara tahu, Balarama terluka, dan semua itu karena kebisuannya. Ia sadar, ia telah membiarkan jarak tumbuh di antara mereka, Ia terjebak pada ketakutanya terhadap jarak yang begitu lebar, hingga ia takut tak mampu lagi bisa menjangkau Balarama, meskipun hanya dengan satu kata.
"Apa yang sebenarnya kuinginkan?" Asmara bertanya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tak terdengar di tengah keheningan malam. "Apakah aku ingin dia kembali, ataukah aku hanya takut merasa sepi lagi?"
Di bawah cahaya rembulan yang tertutup awan, Asmara mengambil surat itu dan membacanya sekali lagi. Setiap kalimat seolah mewakili perasaan yang tak pernah bisa ia ungkapkan.
"Balarama, pada akhirnya aku hanya bisa berkata bahwa aku terjebak dalam kesepianku sendiri. Aku tidak pernah bermaksud melukaimu, tapi kesunyian ini terlalu dalam, terlalu kuat untuk kuatasi sendirian. Maafkan aku, jika akhirnya hanya luka yang kau dapat dariku."
Dengan hati yang berat, Asmara melipat surat itu dan menyimpannya di antara celah halaman buku catatannya. Ia belum siap untuk mengirimkannya, belum siap untuk menghadapi kenyataan bahwa mungkin semua sudah terlambat.
Di sudut kota lain, Balarama masih duduk di tepi jendelanya, memandangi langit yang mulai gelap. Ia menatap lembaran kertas di hadapannya, penuh dengan puisi-puisi yang tak lagi bermakna. Dengan satu tarikan nafas panjang, ia memutuskan untuk menulis bait terakhirnya.
"Asmara Renjana, kekasihku yang sunyi," tulisnya perlahan. "Aku telah mencoba memahamimu, mencoba menembus kebisuanmu. Namun pada akhirnya, aku sadar bahwa mungkin kau memang tidak pernah ingin dipahami. Mungkin, kebisuanmu adalah caramu melindungi hatimu dari rasa sakit yang kau tahu akan datang. Asmaraku, aku merasa gagal menjadi seorang yang bisa memahami kesepianmu, pada ujung air matamu, aku melihat diriku yang tidak berguna, seakan angin memaksaku untuk ikhlas menerbangkan semua kertas-kertas puisiku, Asmaraku, apakah aku gagal?."