Di hamparan sunyi tanpa batas, aku melangkah di antara bayang-bayang yang tak punya asal. Di sana, di antara jejak-jejak tak kasat mata, terhampar dunia yang tak pernah benar-benar ada, Antahbrantah.
Di tempat ini, kesepian bukanlah sekadar ketiadaan suara, melainkan langit luas yang tak mampu disentuh. Segala ada, namun tak pernah utuh, sebuah irama tanpa nada, sebuah sajak tanpa kata.
Aku mencari, melangkah dalam kekosongan, meraba angin sepi yang bergulung tanpa akhir. Kutatap mereka, jiwa-jiwa lain yang juga berjalan di antara kabut yang tak pernah mencair. Kulihat bayang-bayang yang melintas, mereka seperti aku, namun bukan aku.
Mereka menyimpan kehampaan mereka sendiri, terselubung dalam dinding yang tak tertembus. Aku mencoba mengerti, meresapi kehampaan yang melingkupi mereka, berharap bisa menyeberangi jurang yang tak terlihat itu.
Tapi Antahbrantah bukanlah dunia yang membiarkan sentuhan terjadi. Aku hanya bisa mendekati, tanpa pernah benar-benar tiba. Setiap kali kukira sudah menyentuh dasar kekosongan mereka, hanya ada bayangan yang kabur, terserap kembali ke dalam kabut yang melingkari. Mereka seperti pantulan dalam cermin yang retak, pecahan-pecahan yang kutatap, namun tak pernah benar-benar kurasakan.
Aku mendengar suara mereka, serupa bisikan lembut yang tertelan angin, sebuah lagu yang kehilangan nada, hanya gema yang jauh. Kutahu ada kehampaan di sana, kesepian yang tak terucap, tapi tak ada yang bisa kudengar kecuali sunyi yang semakin dalam.
Dan ketika aku berharap sebaliknya bahwa mereka akan melihat kehampaan dalam diriku, mereka hanya menemukan keheningan yang asing, seperti lembaran kosong yang tak terbaca.
Antahbrantah adalah tempat di mana kita semua berjalan dalam lingkaran kesunyian masing-masing, terikat oleh takdir yang sama, namun terpisah oleh tembok yang tak terlihat. Setiap langkah yang kuambil terasa berat, bukan karena lelah, tapi karena jarak yang tak pernah terjembatani.
Aku melihat mereka, mereka melihatku, tapi di sini, di Antahbrantah, pandangan hanya memantulkan kekosongan diri sendiri.
Aku ingin memahami kekosongan mereka, tapi semakin aku mendekat, semakin jauh mereka terasa. Seperti mencoba menggenggam asap, kehampaan mereka meloloskan diri dari genggamanku, terpecah menjadi serpihan-serpihan tak bermakna.
Dan aku bertanya-tanya, apakah mereka juga mencoba memahami kehampaan dalam diriku? Ataukah kita hanya aktor dalam drama sunyi ini, berpura-pura saling peduli, tapi sebenarnya terjebak dalam labirin kesendirian masing-masing?
Di Antahbrantah, kesepian adalah benang tak terlihat yang menghubungkan kita, namun juga tali yang menjerat. Kita semua terjebak di dalamnya, berjalan berdampingan namun tak pernah benar-benar bersama. Mungkin, di sini, kekosongan bukanlah sesuatu yang bisa dibagi.
 Mungkin, ia hanya milik masing-masing dari kita sebuah rahasia yang tak bisa terungkap, sebuah jurang yang tak bisa dilalui.
Pada akhirnya, aku menyadari bahwa di Antahbrantah, memahami orang lain adalah seperti mencoba meraba angin. Kita merasakan keberadaannya, tapi tak pernah bisa menangkapnya. Dan begitu pula dengan mereka-mereka mungkin mencoba menyentuh kekosongan dalam diriku, tapi apa yang mereka sentuh hanyalah udara yang berlalu, tak pernah benar-benar nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H