Mereka hanyalah dua jiwa yang tersesat dalam labirin perasaan, mencari jalan keluar yang tak pernah ada. Mungkin di dalam kebersamaan ini, mereka menemukan ketenangan sejenak dari beratnya dunia, dan itu sudah cukup.
"Hei Asmara Renjana, aku melihat banyak pertanyaan di sorot matamu, antara keraguan dan kegelisahaanmu, antara ingin terus mendekapku atau melepaskanya, ingin mengecupku atau membiarkan dahi dan pipiku tetap pada kesepianya," kata Balarama akhirnya, sambil menegakkan kepalanya, meski hatinya terasa berat.
"Tapi di saat-saat seperti ini, saat kita bisa saling bersandar, aku merasa waktu bukanlah hal yang perlu dipikirkan," dengan nafas yang sesak panjang ia hela sejenak dengan tegas berucap "Asmara Renjana, seperti kata Bang Pidi Baiq, aku mencintaumu, biarlah ini menjadi urusanku, bagaimana kamu kepadaku, terserah itu urusanmu."
Asmara Renjana tidak berkata apa-apa, namun genggaman tangannya pada lengan Balarama menguat. Malam semakin larut, namun mereka tetap di sana, terjebak dalam lingkaran cinta yang tak bisa didefinisikan. Mereka tahu, pada akhirnya, akan ada perpisahan. Namun untuk saat ini, di bawah langit yang menyimpan seribu rahasia, mereka saling memiliki, meski hanya dalam kenyamanan yang sementara.
Cinta mereka adalah rahasia, renjana yang tak pernah terucap, dan dalam setiap tatapan, ada harapan yang akan selamanya tersembunyi di balik tirai takdir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H