Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Baruklinting [167]

16 Oktober 2013   21:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:27 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Seharusnya dalam memberikan penilaian itu memang benar-benar jujur dan adil dan sama sekali jauh dari kepentingan pribadi, tidak ada keberpihakan. Sehebat apapun manusia itu, pasti dekat pada  sebuah titik keberpihakan. Karena titik kita berpijak itu, sebenarnya sudah berpihak, kepada diri sendiri, keluarga, kelompok, golongan, bahasa, agama, bangsa, maupun Negara.

Baruklinting tidak mampu menjawab. Dia hanya membayangkan betapa Pangeran ini seorang yang lemah dan tadi diancam oleh tujuh orang padepokan Mawar Biru itu. Apakah dia akan turun tangan menolong?

Tentu saja! Dia memang kagum dan tertarik kepada Pangeran yang tampan, gagah dan pemberani, mungkin saja ada rasa suka di hatinya, rasa suka yang terbendung karena mengingat bahwa Pangeran ini adalah keponakan dari si Iblis Betina Selendang Merah yang selalu memusuhinya.

“ Mereka memang jahat dan menyerangmu, tetapi haruskah dibunuh? Mengalahkan mereka tanpa membunuh bukan merupakan hal yang sukar bagimu…” Baruklinting mencoba untuk membantah.

“Ha-ha-ha, melepaskan mereka agar mereka mengumpulkan teman-teman yang lebih banyak dan menghadangku pula di tempat lain? Itu bodoh sekali Baruklinting! Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan kita yang menggembirakan, apa perlunya bicara tentang para pemberontak itu? Padepokan  Mawar Biru memang gerombolan pemberontak, karena itu pula maka aku mengadakan perjalanan ke selatan dan mendukung Tiga Serangkai dari Nusakambangan menjadi pemimpin di selatan…”

Mereka kemudian  menjalankan kuda mereka perlahan-lahan meninggalkan hutan itu. Baruklinting agak heran mendengarkan pengakuan itu.

“Ah, kiranya Tiga Serangkai dari Nusakambangan adalah orang-orangnya Kerajaan?”

Pangeran Gendra Kumara tertawa. “Bukan sekasar itu, Baruklinting. Mereka tetap merupakan tokoh persilatan, tetapi tidak menentang Kerajajan. Tentu saja Kerajaan menghendaki agar pemimpin Partai persilatan, dipegang oleh orang yang tidak menentang pemerintah seperti padepokan Mawar Biru. Dan untuk keperluan itu maka Sri Baginda Sultan Ngawantipura mengutus aku pergi ke selatan, untuk mengendalikan tokoh-tokoh golongan hitam dan pendekar serta partai-partai lainnya untuk mendukung Pemerintahan Sultan Pajang II yang bergelar Sultan Awantipura.”

“Ah... jadi engkau adalah utusan Kanjeng Sultan Pajang?”

Pangeran Gendra Kumara tersenyum dan mengangguk. “Tidak resmi benar. Aku sekalian ingin pesiar. Setelah mendengar bahwa hanya Tiga Serangkai dari Nusakambangan yang boleh dipercaya, aku menghubungi mereka dan akulah yang menjagokan mereka agar mengikuti pemilihan Pemimpin  itu. Sengaja datang belakangan untuk melihat keadaan.”

Baruklinting hanya mengangguk-angguk.

“Dan kau sudah siap di belakang bersama pasukan itu?”

“Ha-ha-ha, kau cerdik!”

Pangeran Gendra Kumara menepuk pundak Baruklinting, karena pemuda remaja itu menyenangkan hatinya dan sudah dianggap sebagai seorang sahabatnya.

Aku jemu dengan semua itu, Baruklinting. Kemanapun aku pergi, orang menyembah-nyembahku sebagai Pangeran dan sebagai utusan Kanjeng Sultan Awantipura. Maka ketika aku bertemu dengan kau yang menyebut namaku begitu saja, dan tidak berlutut kepadaku, barulah aku gembira, merasa hidup wajar kembali. Dan kepandaianmu sekarang hebat! Benarkah seperti yang kudengar bahwa engkau mewakili tokoh yang bernama ki Ageng Kaladite dan yang menjadi musuh Tiga Serangkai dari Nusakambangan? Apakah engkau berambisi menjadi Pemimpin?”

Baruklinting termenung. Pangeran ini memusuhi kakeknya yang sudah meninggal dunia, dan memusuhi ayah kandungnya!

Pangeran Gendra Kumara kemudian melanjutkan ucapannya. “Karena Ki Ageng Wanabaya itu telah banyak memusuhi ayah, dan juga guru sendiri menjadi musuh besarnya. Ayah merasa marah karena guru telah berkali-kali kalah oleh Ki Ageng Wanabaya, bahkan beberapa tahun yang lalu ini, sebelum Ki Ageng Wanabaya meninggal dunia, Nyai Gumbreg yang dibantu oleh bibi Kenyakadaka si Selendang Merah juga tidak mampu mengalahkannya. Hebat memang pendekar itu. Aku merasa kagum sekali mendengar betapa guru dan bibi masih kalah dan karena kagum inilah maka aku ingin sekali memenuhi keinginan ayah. Suatu waktu aku harus mampu mengalahkan putera Ki Ageng Wanabaya yang bernama Gunturgeni itu, dan untuk itu, tahun depan ayah mengumpulkan semua orang pandai untuk dipilih dan diangkat menjadi guruku…”

Kalau saja dia tahu bahwa cucu musuh besarnya berada di depannya, tentu sikapnya terhadap dirinya akan berbeda! Tetapi  Baruklinting mengusir perasaan tidak enak di hatinya. Dia tidak mempedulikan lagi ayah kandungnya. Ayah kandungnya bukan manusia baik-baik. Buktinya telah membikin sengsara kehidupan ibu kandungnya.

“Baik, aku ikut bersamamu ke Lembah Ketangga!” Tiba-tiba dia berkata.

“Bagus, dengan begitu barulah kau seorang sababatku yang baik!”

“Maaf, aku hanya menjadi teman seperjalananmu, bukan berarti menjadi sahabatmu, Pangeran,” jawab Baruklinting dengan suara dingin.

“Eh? Mengapa tiba-tiba menyebut Pangeran? Heii, apakah kaupun juga ketularan penyakit menjilat dan bersikap hormat kepadaku? Akan memuakkan sekali kalau begitu, Baruklinting. Kau  lebih muda dariku, maka untuk seterusnya kau menyebutku kakak  saja, dan aku menyebutmu adi Baruklinting. Kita patut menjadi kakak beradik, bukan, walaupun hanya kakak beradik angkat saja.”

Melihat sikap yang ramah itu, Baruklinting harus mengakui bahwa Pangeran ini baik sekali kepadanya dan membuat dia merasa sukar untuk bersikap dingin. Dia menarik napas panjang dan berkata, “Baiklah, Kakang Gendra Kumara.”

Wajah yang tampan itu berseri dan diam-diam Baruklinting harus mengakui betapa gagah dan

tampannya Pangeran ini. Sepasang mata itu demikian jernih dan tajam, dan raut muka itu demikian gagahnya. Sayangnya Pangeran ini memiliki watak yang kejam, membunuh orang seperti membunuh binatang saja.

“Baruklinting, mari kita cepat menuju ke benteng di depan itu!” katanya sambil menuding ke arah tembok yang agak jauh akan tetapi sudah nampak dari situ. “Ke benteng? Mau apa pergi ke benteng?” tanyanya heran.

Gendra Kumara tertawa. “Kita perlu dengan busur dan anak panah. Di dalam pegunungan di sebelah sana benteng terdapat hutan yang banyak dihuni oleh ayam hutan dan binatangbinatang lain. Senang sekali berburu ke sana, adi Baruklinting. Kita berburu di sana beberapa hari, setelah kenyang makan panggang ayam hutan, daging kijang dan mungkin mendapatkan kulit harimau, baru kita melanjutkan perjalanan ke utara. Senang, bukan?”

Baruklinting tersenyum dan bangkit kegembiraannya. Hidup di samping pangeran ini agaknya selalu dikelilingi dengan kesenangan dan kegembiraan. Dia mengangguk. “….Baiklah…..”

Keduanya lalu membalapkan kuda menuju ke benteng. Mulamula para penjaga dengan penuh curiga menghadang dua orang pemuda itu dan muncullah komandan jaga. Ketika  Pangeran Gendra Kumara mengeluarkan tanda kebesaran kerajaan, yaitu lencana terbuat daripada emas yang menjadi tanda kuasa atau tanda utusan Sultan, komandan itu menjatuhkan diri berlutut dan semua pasukan cepat memberi hormat.

Pangeran Gendra Kumara yang tidak suka atau sudah bosan dengan segala macam penghormatan itu, dengan singkat menyatakan bahwa dia hanya ingin minta dua batang busur yang baik berikut anak-anak panah yang baik.  Tentu saja permintaan ini cepat dipenuhi dan tak lama kemudian, setelah memperoleh apa yang dikehendakinya.

Pangeran Gendra Kumara dan Baruklinting cepat memacu kudanya meninggalkan pintu gerbang benteng, diikuti pandang mata anak buah pasukan yang masih merasa seperti dalam mimpi. Karena  tidak menyangka sama sekali bahwa hari itu ada seorang pangeran yang datang berkunjung!

Sambil tertawa-tawa Gendra Kumara dan Baruklinting mengaburkan kuda mendaki daerah pegunungan yang penuh dengan hutan itu. Tiba-tiba Pangeran Gendra Kumara yang membalapkan lebih dulu, menghentikan kuda itu dan membalikkan tubuh kuda menanti dan menghadap ke arah Baruklinting yang datang menyusul.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun