Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Baruklinting [139]

20 April 2013   20:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:53 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Aku...! kenapa ..aku..memalukan?”

“Ya, kau yang memalukan. Pertama-tama, kau menyebutku kakek yang budiman. Mulai saat ini sebutan itu harus kaubuang jauh-jauh dari benakmu. Awas, sekali lagi menyebut, kau akan menjadi musuhku karena berarti kau menghinaku, tahu?”

“Eh? Ini... ini... kak...” Baruklinting menghentikan sebutan itu.

“Lalu  aku harus memanggil dengan sebutan apa?”

“Aku adalah kakak seperguruanmu, mau sebut apa lagi…?”

“Kakak seperguruan…?”

Baruklinting memandang dengan mata terbelalak bingung. Kakek ini kakak seperguruannya?

“ Dengan dasar apa, engkau  ini menjadi kakak seperguruanku ?

“Ya, adi ! aku adalah kakak seperguruanmu. Kita sama-sama menjadi murid dari Panembahan Boga Sampir  !”

“Panembahan Boga Sampir ! Siapakah Panembahan Boga Sampir  , itu?”

“Nanti kujelaskan.   Hal  ke dua yang memalukan, yaitu,  kau telah menjadi pencuri kalau menggunakan ilmu  Sitrul Ambyak yang menyedot dan mencuri tenaga sakti lawan. Huh, benar-benar memalukan sekali.”

“Tapi, kakek... eh, ka... kang...”

Sukar sekali bagi Baruklinting untuk menyebut kakang kepada kakek itu, dia takut kalau   berani menyebut kakek yang budiman lagi.

“Aku tidak bermaksud mencuri energy  orang lain. Memang demikian  sifat Sitrul Ambyak, menghisap energy  lawan yang menyerang.  Dan itu bukan kesalahanku, mereka yang mendahuluinya. Dan menurutku adalah kesalahan lawan itu sendiri karena dia menyerang...”

“Alasan dicari-cari! Mendiang ki Ageng Wanabaya sendiri tentu tidak sudi menggunakan ilmu itu untuk mencuri energy dalam tubuh orang lain. Ilmu itu hanya untuk menghindarkan diri dari pukulan orang, bukan untuk mencuri hawa sakti. Mulai sekarang,  kau tidak boleh menggunakannya untuk menghisap energy orang lain. !”

Baruklinting melongo, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, dan tidak menjawab.

“Aku adalah kakak seperguruanmu, maka juga mewakili guru kita. Hayo kau ikut bersamaku melakukan upacara pengangkatan guru kepada guru kita Panembahan Boga Sampir !”

Baruklinting tidak membantah pula dan dia lalu mengikuti kakek itu, bukan memasuki pondok melainkan pergi menjauhi pondok ke sebuah lereng bukit! Anak ini merasa  heran. Benarkah kakek ini mempunyai seorang guru yang tinggal di tempat terpisah?

Di bawah penerangan sinar bulan purnama, dua orang itu berjalan berdampingan menuruni puncak. Dilihat dari jauh, tentu disangka orang bahwa Baruklinting lebih tua karena kakek itu hanya setinggi pundaknya!

Ketika tiba di lereng  barat laut  yang penuh dengan batu  padas dan goa-goa kecil, lereng itu menghadap tepat  sebuah telaga yang airnya mancawarna, kakek itu berhenti sejenak.  Dia  berdiri di atas batu memandang ke kanan kiri penuh perhatian. Setelah dia merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, dia lalu mengajak Baruklinting menghampiri sebuah batu sebesar gajah.

Dengan hati-hati dia lalu mendorong batu itu sampai bergeser dan ternyata di balik batu besar itu terdapat sebuah goa kecil yang lebarnya hanya satu meter, guha kecil namun gelap karena selain terhalang batu besar juga agaknya dalam sekali.

Kakek itu setelah menuruni tangga dari batu, disitu terdapapt semacam sendang yang airnya jernih. Setelah bersuci ki Ageng Kaladite kemudian merangkak masuk ke dalam goa itu  dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi membawa sebuah peti hitam bentuknya persegi dan ukurannya kurang dari setengah meter. Dengan penuh khidmat diletakkannya peti hitam itu di atas batu, kemudian dia menjatuhkan diri di depan peti itu.

“adi, cepat kau berlutut memberi hormat,” dia berbisik.

Baruklinting merasa seram karena dia tidak melihat siapa-siapa, dia tidak membantah dan cepat diapun berlutut di samping kakek itu menghadap peti hitam.

Kakek itu memberi hormat dengan berlutut tiga kali, lalu terdengar dia berkata, “Guru, hamba membawa adi Baruklinting datang menghadap guru dan perkenankanlah muridmu memperlihatkan ilmu-ilmu pemberian Guru kepada adik seperguruan ini”

Setelah berkata demikian, kakek itu mengeluarkan sebungkus obat bubuk putih dari sakunya. “Cepat kau tirukan apa yang kulakukan, melumuri muka, leher dan tangan, semua bagian tubuh yang nampak, dengan bubuk putih ini.”

Baruklinting heran tetapi dia tidak membantah dan dia menirukan apa yang dilakukan oleh kakek cebol itu kakek itu melumuri semua kulitnya yang tidak tertutup pakaian.

Hampir dia tertawa melihat betapa wajah kakek itu menjadi putih seperti wajah seorang badut yang hendak berlagak di atas panggung. Baruklinting teringat bahwa tentu wajahnya sendiripun putih seperti itu, maka dia tidak jadi tertawa.

Kakek itu sekali lagi memeriksa dan setelah melihat benar bahwa seluruh kulit yang nampak dari anak itu telah tertutup bubuk putih,   lalu memberi hormat lagi dan kedua tangannya membuka tutup peti.

“Krieeettt...!”

Peti hitam terbuka tutupnya dan tiba-tiba terdengar suara mendesis nyaring dan berkelebat sinar emas dari dalam peti menyambar keluar. Kiranya sinar emas itu adalah seekor ular berkulit kuning keemasan yang menyambar keluar, lehernya mengembung dan dari mulutnya keluar uap hitam, lidahnya yang merah keluar masuk dan sepasang matanya seperti menyala!

“saudara ular emas, kami berdua sudah mendapat perkenan Guru untuk memeriksa kitab, harap kau tenang saja.”

Aneh sekali ular yang “berdiri” dengan  penuh sikap mengancam itu lalu turun kembali dan melingkar di sudut peti hitam, di mana terdapat setumpuk kitab yang terbuat dari lempeng tembaga tipis yang sudah kusam menghitam.

“Lihatlah, adi. Inilah kitab-kitab pusaka yang diturunkan oleh Guru kita Panembahan Boga Sampir  . Aku sudah terlalu tua untuk mempelajarinya, hanya baru dapat membacanya saja yang membutuhkan waktu puluhan tahun. Aku tidak mempunyai waktu lagi untuk melatih ilmunya, maka semua penterjemahan atas kitab-kitab ini akan kuserahkan kepadamu dan engkaulah yang akan dapat melatih diri dan menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab ini.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun