Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Baruklinting [156]

14 Mei 2013   23:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:34 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pangeran Gendra Kumara berseru dengan wajah gembira setelah mereka tiba di tempat sunyi  itu lalu menggunakan cambuk kudanya yang terbuat dari bulu halus itu dan menghentakkan kudanya yang besar dan gagah.

Baruklinting tersenyum dan dia pun memacu kudanya, mengejar. Melihat ini, Pangeran Gendra Kumara tertawa gembira dan kedua orang muda inipun berpacu dengan cepatnya, betapapun juga kuda tunggangan Baruklinting tidak sebaik kuda tunggangan Pangeran muda  itu, Baruklinting akhirnya tertinggal jauh dan kuda Pangeran muda itu lenyap di tikungan luar hutan Bedakah.

Akhirnya  Baruklinting dapat melihat Pangeran Gendra Kumara lagi, setelah menyusuri hutan bambu.  Di  lorong simpang tiga itu dia melihat kuda besar itu sudah berhenti di tepi hutan Kabelukan, dan Pangeran muda itu duduk di atas kuda berhadapan dengan tujuh orang yang mengepungnya setengah lingkaran.

Baruklinting segera memacu kudanya dan ketika sudah mendekat, dia terkejut mengenal bahwa tujuh orang itu adalah anak buahnya ki Surabanggi yang pernah dihajarnya di atas panggung tadi.

Pada saat itu, ki Surabanggi berteriak keras dan tujuh orang itu sudah bergerak dengan senjata masing-masing, menyerang Pangeran Gendra Kumara yang masih duduk di atas pelana kudanya dengan sikap angkuh.

Bagi Baruklinting yang memang merasa tidak ada hubungan dengan Pangeran muda itu, maka dia hanya menjalankan kudanya perlahan menuju ke tempat itu sambil memandang penuh perhatian.

Dia tahu benar bahwa kemampuan Pangeran Gendra Kumara sama sekali tidak perlu dikhawatirkan, apalagi dia memiliki ilmu kanuragan yang sudah mencapai tingkat tinggi, sehingga tidak mungkin  kalau Pangeran itu akan mudah dilukai.

“Bunuh pejabat dholim…!”

“Basmi penindas rakyat..!”

Tujuh orang itu berteriak-teriak bising dan mereka menjadi makin ribut dan mencari-cari orang yang dikepungnya karena tiba-tiba saja Pangeran Gendrakumara itu sudah lenyap dan kudanya meloncat sambil meringkik keras, menyepak-nyepak dan menjauhi mereka, padahal tadi mereka telah mengepung dan menyerang.

Dari tempat agak jauh, Baruklinting memandang sambil tersenyum mengejek. Dia kagum menyaksikan ketrampilan Pangeran Gendra Kumara, menggerakkan  tubuhnya yang sangat ringan sekali melenting keatas, ketika kudanya meringkik-ringkik itu telah meloncat ke atas dan telah menyusup pada rimbunan pohon bambu yang tinggi!

Baruklinting tak dapat menahan tawanya ketika dia melihat betapa tujuh orang itu ke sana-sini mencari-cari, dan tiba-tiba Pangeran Gendra Kumara tertawa berkata, “Hei, kalian ini orang-orang dari Padepokan Mawar Biru, lekas berdoa terlebih dulu, sebentar lagi nyawa kalian  akan melayang!”

Ki  Surabanggi dan teman-temannya terkejut dan ketika mereka melihat bahwa orang yang mereka cari-cari itu berada di atas pohon, mereka marah dan siap untuk meloncat naik pohon. Pada  saat itu, Pangeran Gendra Kumara telah melayang turun dengan gaya yang sangat ringan dan  indah dan telah berdiri di atas tanah sambil menghadapi mereka dengan senyum mengejek.

“Hayo kalian, siapa yang lebih dulu dapat merobohkan aku!”

Dia mengejek dan tujuh orang itu yang merasa penasaran kini menerjang dengan cepat, seperti sungguh-sungguh berlomba untuk merobohkan Sang Pangeran muda itu.

Baruklinting hanya menonton dengan penuh kagum. Dia melihat betapa kedua kaki pangeran itu bergerak seperti menari-nari, melangkah ke sana-sini dengan ringan namun cepat, teratur dan tepat sehingga tubuhnya dapat menyelinap ke sana-sini di antara terjangan tujuh orang pengeroyok itu dan semua serangan  tujuh orang itu tidak ada yang dapat menyentuh tubuhnya.

Baruklinting mengerti bahwa Pangeran itu mempergunakan gerakan langkah  Delapan  Bintang dan, jangankan dikeroyok tujuh orang anggauta, biarpun dikeroyok oleh lebih banyak lawan yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi pun tidak mungkin dapat menangkap atau menyerang pemuda itu dengan mudah!

“Ha-ha, Baruklinting, kaulihat lalat-lalat busuk ini, betapa menjemukan!” kata pangeran itu.

Dan  tiba-tiba dia merubah gerakannya, kalau tadi dia hanya melangkah ke sana-sini seperti orang menari-nari, kini kedua tangannya bergerak menampar ke kanan kiri dan terdengar jeritan mengerikan disusul robohnya tujuh orang itu secara berturut-turut. Tujuh orang itu roboh dan mereka tewas oleh tamparan-tamparan Pangeran Gendra Kumara yang dilambari aji Gundhalasasra! Baruklinting menyaksikan betapa Pangeran itu membunuh mereka demikian kejamnya!

“Salah kalian sendiri, tadi aku sudah menyuruh berdoa untuk arwah kalian, tetapi kalian mengabaikan sehingga kini arwah kalian menjadi setan-setan gentayangan!” kata Pangeran Gendra Kumara sambil menghampiri kudanya.

Dengan  tenang Pangeran muda itu meloncat ke atas punggung kuda, lalu menghampiri Baruklinting seolah-olah tidak pernah ada terjadi sesuatu. Wajah Baruklinting masih membayangkan kengerian dan alisnya masih berkerut. Dia menyambut kedatangan Pangeran itu dengan ucapan yang bernada teguran.

“Kau... kau bunuh mereka…….?”

Mendengar suara yang mengandung teguran itu Pangeran Gendra Kumara memandang dan tersenyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun