Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sutawijaya Mbalela (1)

6 Juni 2010   08:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:43 2084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika dilihat dari kejauhan keberangkatan wadyabala Pajang itu bagaikan sekarsetaman, pasukan berkuda bagian depan mengenakan seragam kuning, di belakangnya pasukan pemanah mengenakan seragam hitam. Pada pasukan bersenjata pedang mengenakan seragam merah, singkat cerita perjalanan prajurit Pajang tidak dikisahkan, tetapi sudah makuwon (berkemah) di perbatasan Bumi Mataram, di alas Prambanan

Kita tinggalkan dahulu yang sedang membuat perkemahan, di tepis wiring Perdikan Mataram, Senapati ing Ngalaga sebenarnya jauh sebelumnya sudah melakukan barispendhem di sekitar perbatasan di desa Randhulawang. Pasukan Pajang tidak mengetahui sama sekali bahwa mereka sebenarnya sudah berada di mulut singa.

Ketika matahari sudah melaju ke ufuk barat, di langit merah membara, bunyi walang conggeret bersahut-sahutan menandakan musim kemarau. Matahari semakin meredup, tujuh orang andalan Senapati ing Ngalaga memukul bende kyai Bicak, suaranya menggema.

Di lereng gunung Merapi bagian selatan terdapat tumpukan kering yang banyak memanjang kearah timur, kemudian sepasukan kuda betina dan jantan dikumpulkan kemudian dicambuk kuda terdepan melompat seketika, suaranya gemuruh. Bende kyai Bicak dipukul terus suaranya semakin menggaung mengepung seluruh penjuru. Prajurit Pajang melihat kearah selatan ada kebakaran, sementara itu seluruh pasukan merasa telah terkepung oleh pasukan berkuda.

Kemudian Adipati Tuban maju menghadap Sultan Pajang;” dhuh sang Nata, ngajrihi tiyang alit, yèn ngandika sang Prabu terkaning tyas kawula, taksih purun ulun aben prang pupuh kaliyan kakang Senapati, nadyan ngabena kasektèn, lan abdi dalem wadyabala Tuban ulun bekta mapagaken ing ajurit, samya sekti teguh timbul, nyepenga nggih kuwawa, mejahana mring Senapati Mataram, tiyang kawan dasa kelar” ( baginda, situasinya menakutkan pada rakyat kecil, ijinkan baginda memerintahkan kami untuk menghadapi Senapati ing Mataram, hamba masih berani tarung satu lawan satu untuk mengadu kesaktian dan pasukan hamba dari Tuban cukup 40 orang mampu untuk menghabisi wadyabala Mataram.).

Sultan Pajang yang sudah tanggap ing sasmita , berkata lirih ;” sutèngsun dipati Tuban, aja sira agé awani-wani mungsuh Sénapati. Iku wruhanira wus teka janji, cahya Nurbuwat wus ngalih, iku kawengku Sénapati ing Tanah Jawa sumiwi mbésuk ing Mataram“( anakku Adipati Tuban, jangan gegabah untuk melawan Senapati ing Ngalaga, ketahuilah bahwa sebenarnya wahyu kedaton sudah berpindah, dan kini sudah di kuasai oleh Senapati ing Tanah Jawa kelak akan memimpin Mataram).

Sindoro Sumbing, 6 Juni 2010
Sumber : Babad Demak II (GPH.Buminoto,1937)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun